1.6 DOV

8.8K 638 19
                                    

Yehana menelfon nomor Berlin, namun tak kunjung ada jawaban. Panggilannya di biarkan begitu saja, tak di reject namun juga tak di angkat. Raut wajah Yehana tersulut khawatir, baginya begitu terasa aneh jika Berlin tiba-tiba pindah ke Amerika. "Aku mohon angkatlah Berlin ...." ucap Yehana, ia terus saja menempelkan ponselnya ke telinga.

Karena sama sekali tak di jawab, Yehana akhirnya menyerah. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, gadis itu menghela nafas panjang. Fikirannya sibuk memikirkan kenapa Berlin tiba-tiba mengatakan akan pindah ke Amerika,

Sebuah pesan masuk ke ponsel Yehana, setelah mengetahui kalau pesan tersebut dari Berlin, segera Yehana membukanya.

"Aku di depan, tolong buka pintunya Yehana ...." 

Alis Yehana bertaut ketika membaca isi pesan Berlin. pesan tersebut sangat terasa aneh, untuk apa Berlin berada di depan kosnya tengah malam seperti ini?
Yehana di landa bimbang, entah kenapa ia punya firasat buruk. Sejenak pandangannya mengarah ke pintu kos, setelah beberapa saat ia kembali menatap layar ponselnya, mengetik balasan untuk pesan yang baru di kirimkan Berlin padanya.

"Kalau itu memang kau, silahkan ketuk pintunya lalu panggil namaku."

Lima menit setelah pesan itu terkirim, sama sekali tak ada balasan atau ketukan di pintu. Hal itu membuat Yehana berkeringat dingin, ia menelan ludah beberapa kali. Dengan perlahan ia menuju ke arah pintu dengan bantuan cahaya layar ponsel karena lampu sudah ia matikan sejak tadi.

Hening, tak terdengar suara apapun dari luar meski sekarang Yehana sedang menempelkan telinganya ke pintu. Nafas Yehana mulai memburu karena takut.

"Deru nafasmu memburu sekali..."

Terdengar desisan suara dari arah luar pintu, suara itu terdengar begitu dalam. Yehana terkejut, sontak ia memundurkan tubuhnya. Gadis itu terdiam, ia membekap mulutnya sendiri, tak mau bersuara sedikitpun.

"Ini sudah larut, tidurlah... Yehanaku ...." suara yang terdengar begitu tenang itu kembali mendengung di telinga Yehana, mata Yehana membesar. Ia yakin kalau siapapun yang berada di luar sana adalah orang yang belakangan ini mengiriminya cokelat.

Suara sepatu terdengar menjauh, dan sekarang keadaan kembali senyap, benar-benar senyap. Perlahan Yehana menurunkan tangannya, airmata gadis itu jatuh, tubuhnya bergetar karena takut.

oOo

"Hai Ronald!"


Seorang pria bermata cokelat terang melambaikan tangannya ke atas, dengan membawa sebuah jurnal, pria itu menghampiri seseorang yang tengah duduk di sebuah kursi taman sebuah Universitas.

"Hai Dokter Jakson..." pria bernama Ronald tersebut kembali menyapa Jakson yang kini sudah duduk di sampingnya.

Jakson tertawa, "Hei! Sudah ku katakan kalau aku ini bukan dokter 'kan?"

Ronald ikut tertawa, "Bukannya bukan, tapi belum."

"Ya, kau selalu ingin menang ...." 

Ronald kembali tertawa, "Ada apa? Kenapa tiba-tiba menemuiku? Kau tidak sibuk?"

Jakson menghela nafas, melepas beban fikiran yang sejak lama ia pikul. "Aku hanya bosan, seharian di ruang praktek membuat pikiranku kacau... apalagi harus membedah dan menjahit ulang para mayat-mayat itu." Ia menoleh Ronald, "kalau di fikir-fikir, teringin menjadi dokter bedah itu adalah sebuah kesalahan." Ucapnya lalu tersenyum.

STALKER OBJECT ✔ (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang