32. Broken Home

330 30 6
                                    

Tak apa meski setitik pun. Setidaknya engkau hadir dikala gulita.

🌠🌠🌠

"Gila lo, Ki. Lo sengaja ya nanya gue soal itu di depan dia?" tanya Pinky setibanya di rumah dan Yuki hanya diam saja menanggapinya.

"Gila! Sumpah benar-benar gila! Gue malu setengah mati, Ki! Anjir, gue gimana nih besok sekolah?! Ah elah, lo sih!" ceroscosnya.

"Kalau gue gak ngomong gitu, selamanya lo gak akan dapat kepastian," ujar Yuki yang kemudian main nyelonong masuk ke dalam rumah Pinky.

"Eeeehhhh!" teriak Pinky.

***

Malam tiba, di luar tengah gerimis. Lagi-lagi langit cerah tertutup awan mendung dikala malam, membuat gulita semakin pekat. Yuki tersenyum ketika melihat sesuatu. Ada satu bintang di ufuk barat. Mungkin planet Jupiter yang katanya akan terlihat sepanjang bulan April.

Yuki menatapnya dari balik jendela kamar. Ia kini tengah duduk di kursi belajarnya yang kebetulan terletak di dekat jendela.

Drrtt drrrtt

Bunda
Ki, bunda mau jujur sama kamu. Sepertinya umurmu telah cukup untuk mengetahui semuanya, tapi bunda mohon, setelah kamu mengetahui semuanya, kamu jangan membenci siapa pun.

Yuki
Ya, Bun. Yuki janji.

Bunda
Kamu bisa tahu kebenarannya besok. Besok, kembalilah ke rumah dan lihat sesuatu di kamar bunda yang telah bunda simpan. Malam ini, bunda, Ayah, dan Reina akan pindah ke Palembang. Ayahmu mendapat pekerjaan yang lebih baik di sana dan Ayahmu memutuskan untuk menetap di sana. Maaf bunda baru menghubungimu lagi. Jaga dirimu baik-baik ya, sayang. :')

Tanpa membalas pesan itu, Yuki justru meremas kuat ponselnya dan menangis seraya menunduk. Keluarganya kali ini benar-benar meninggalkannya. Mereka ... membuangnya. Kalian tak akan tahu rasa sesak dan sakitnya seperti apa, ini melebihi diputuskan saat sedang sayang-sayangnya.

Drrrtt drrrtt

Lagi-lagi ponselnya bergetar. Kali ini bukan sebuah pesan, melainkan sebuah telepon. Yuki pun menyeka air matanya dan menarik napas sebelum ia mengangkat telepon tersebut.

"Halo, Kak," sapa Yuki.

Ya, yang meneleponnya adalah Raihan, sang Kakak.

"Lo sama Ayah Bunda pindah ke Palembang?"

Sial, ternyata Raihan tak tahu soal kejadian yang menimpanya. Yuki kembali menangis, seraya membekam mulutnya supaya tak mengeluarkan suara.

"Ki? Halo? Yuki, lo masih di sana kan?" tanya Raihan ketika tak mendengar suara apapun di sambungan teleponnya.

"Iya, Kak, iya, Yuki masih di sini. Sinyalnya ... hm ... kurang bagus soalnya lagi hujan," ujar Yuki kemudian.

"Oh ... kalau lo udah gak betah tinggal sama Ayah, lo bisa ke Jakarta. Lo tinggal sama gue aja di sini, rumah gue juga beberapa hari lagi selesai. Biar gak sepi-sepi amat nih rumah kalau gue tinggal kerja ke kantor." Jelas Raihan.

"Loh, kakak udah kerja?" Yuki terkejut.

"Udah, tinggal nunggu wisuda doang, bos kakak naikin pangkat." Jelas Raihan.

"Alhamdulillah kalau gitu."

"Kalau lo ada apa-apa atau mau pindah ke sini, kabarin gue ya?" kata Raihan.

"Iya, Kak."

"Ya udah, istirahat sana! Ini udah malam. Belajar yang rajin."

"Iya, Kak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sambungan telepon pun terputus. Yuki menangis sejadi-jadinya di atas meja belajar. Ia menelungkupkan kepalanya di antara kedua tangan, hujan gerimis semakin menambah suasana kesedihan malam itu. Sebenci itukah Ayahnya kepada Yuki hingga ia tak memberi tahunya mengenai kepindahan mereka ke Palembang? Lagi-lagi, Yuki hanya bisa mengutuk dirinya sendiri. Ia benar-benar tak habis pikir dengan kemirisan hidupnya. Namun, meskipun demikian, setidaknya Yuki mendapatkan titik terang mengenai apa yang dicari-carinya selama ini.

Ceklekk

Pintu kamar terbuka. Tanpa melihat ke arah pintu, Yuki tetap setia dengan posisinya.

Pinky terkejut mendengar isakan tangis Yuki dan mendapati Yuki tengah menelungkupkan kepalanya di atas meja belajar. Dengan segera ia menghampiri sahabatnya itu dengan perasaan khawatir. Takut-talut jika sakitnya kambuh.

"Ki, lo kenapa?" tanya Pinky.

Yuki tak merespon apa pun. Pinky melihat handphone Yuki yang ada di samping tangan gadis itu. Ia pun mengambilnya dan melihat apa yang ada di ponsel sahabatnya hingga ia menangis. Ia membuka aplikasi WhatsApp dan membaca isi chatt Bunda Yuki. Ia amat terkejut ketika membaca pesan itu, bahkan matanya yang bulat kini membelalak. Lantas, ia pun memeluk Yuki yang sedang terisak.

"Bahkan Kak Raihan gak dikasih tahu soal kondisi gue sama Ayah, Ky," lirih Yuki kepada Pinky disela isakan tangisnya.

"Udah, Ki. Tenang, lo masih punya gue. Jangan merasa sendiri, okay? Gue selalu ada buat lo," ucap Pinky yang berusaha menenangkan Yuki dan menahan air matanya sendiri supaya tak ikut jatuh.

Ia tak kuat melihat sahabatnya terpuruk seperti ini. Mungkin, rasa sakitnya melebihi apa yang ia rasakan selama ini. Ditinggal bekerja memang sudah biasa, tapi jika ditinggal seperti ini lain ceritanya. Sama saja dengan mereka membuang Yuki begitu saja. Pinky pikir, kalau tidak mau mengurus anak kenapa orang tua harus membuat anak? Terlebih lagi, Yuki sangat jarang menangis dan marah. Itulah yang menyebabkan Pinky terbawa suasana. Yang Pinky tahu, Yuki adalah sosok perempuan yang anti dengan kata menangis. Baginya, Yuki adalah sosok yang kuat—pandai menyembunyikan luka dalam dirinya. Tapi, kali ini berbeda. Yuki benar-benar rapuh, lemah, dan terluka. Benteng pertahanannya hancur ketika mendapat kabar yang begitu menyesakkan ini.

Ocesan ana:

Ajak teman kalian untuk baca juga ya. Vote and comment jangan lupa! Wkwkwk :v

See you💕
Salam sayang,
Adik satu-satunya Bang Uchiha Sasuke
@anakataa24

Setitik Cahaya Bintang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang