5. Abang Ganteng

521 66 41
                                    

Ada beberapa orang yang menunjukan kasih sayangnya dengan cara yang berbeda dari yang lain. Lihat, pahami, dan rasakan.

🌠🌠🌠

"Puncak Everest, lo nginep di rumah gue yuk! Suntuk gue setiap malam gak ada teman," ujar orang di seberang telepon sana yang tak lain adalah Pinky.

"Biasanya juga sendirian," timpal Yuki yang kini mendudukan dirinya di kursi dapur.

"Elaah, Ki. Gue beneran suntuk nih. Cepetan ke sini ya? Ya ya ya?" rengek Pinky.

Yuki berdecak kesal. "Maksa banget, sih."

"Cepetan pokoknya! Gak ada PENOLAKAAAAANNN!" pekik Pinky membuat Yuki menjauhkan handphone yang ia pegang dari kupingnya.

Tut tut tuttt

Gadis berambut sebahu itu menghembuskan napas kasar. Pasalnya, ini sudah malam dan jam sudah menunjukan pukul 21:28 WIB. Ia pasti tak akan diizinkan keluar oleh Ayahnya.

Yuki berjalan menuju kamar, ia melirik sekilas keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Menonton sebuah acara televisi dan tampak saling bercanda. Ia ingin sekali bergabung di sana, namun tak bisa. Ada hal yang membuatnya sungkan untuk melakukannya. Lebih baik ia masuk ke kamar saja dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah Pinky.

Seusai membereskan keperluannya selama menginap di rumah Pinky nanti, Yuki menuju ruang keluarga untuk meminta izin kepada Ayah dan Bundanya.

"Yah, Bun, Yuki izin mau ke rumah teman ya? Katanya dia sendirian di rumah. Jadi, dia minta Yuki buat nginep. Boleh kan?" tanya Yuki dengan sopan.

"Cewek, cowok?" tanya kakak laki-lakinya yang bernama Raihan. Selisih umur antara Raihan dan Yuki empat tahun.

"Cewek, Kak. Namanya Pinky," ujar Yuki.

"Pinky? Pantas manja," tanya Raihan lagi sambil mengunyah keripik singkong.

Yuki menggeleng cepat. "Enggak. Dia gak manja, Kak." Raihan hanya mengangguk-ngangguk menanggapinya.

"Ini sudah malam. Sebaiknya kamu tidur, Nak," lembut Bunda Yuki.

"Tapi, kasihan Pinky, Bun. Dia gak ada temannya di rumah." Tolak Yuki dengan sopan.

"Sudah, biarkan saja dia pergi. Anak itu tak pernah mau mendengarkan kita. Sana! Pergi saja sana! Pergi ke mana pun kau mau!" ketus Ayah Yuki. Kata-katanya bukan memberi izin, melainkan terdengar seperti mengusir. Sontak Yuki menunduk dan hatinya terasa begitu sakit.

"Mas, dia itu anak kita. Jangan ngomong kayak gitu ah! Gak baik," Bunda Yuki menasihati.

"Lo ke sana naik apa?" tanya Raihan kepada Yuki kemudian.

"Naik umum, Kak. Kalau boleh sih ... gue mau pinjem motor kakak," ucap Yuki dengan hati-hati.

Mendengar itu, Raihan langsung melemparkan kunci motornya kepada Yuki dan dengan cepat Yuki menangkapnya.

"Helmnya ambil aja di kamar gue," datar Raihan.

"Makasih, kak." Yuki tersenyum.

Yuki pun mencium punggung tangan orang tuanya, lebih tepatnya hanya kepada Bunda dan kakaknya saja. Ayahnya malah mengabaikan uluran tangannya. Ia justru santai-santai saja menonton televisi sambil mengunyah makanan ringan. Sedangkan adik perempuannya, Reina, ia sudah tidur di pangkuan sang Bunda.

"Hati-hati ya, Nak," kata Bunda Yuki sambil mengelus kepalanya.

"Iya, Bun. Yuki berangkat dulu, assalamualaikum." Pamit Yuki.

Setitik Cahaya Bintang [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang