DUA PULUH TIGA - "Perkenalan Resmi"

174 15 0
                                    

SELAMAT MEMBACA KALIAN


***

Satu-satunya pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya adalah kenapa Kai tiba-tiba ada di rumahnya. Namun, Fay tidak menyuarakan pertanyaannya sama sekali. Bibirnya teralalu sakit untuk terangkat kalau ia bicara. Karena insiden tadi bibir bawahnya mendapat dua jahitan.

Hebat memang kejadian tak sengaja itu. Bisa berakhir fatal seperti ini.

Bau anyir darah masih tercium meskipun darah di bibirnya sudah diseka dan dibersihkan perawat sebelum menjahit bibirnya. Bagian atas bajunya masih berdarah, itulah yang menyebabkan bau darah masih tercium.

Fay memperhatikan punggung Kai yang sedang berdiri mengantri untuk menebus obat yang dokter resepkan supaya lukanya cepat kering. Ia tidak pernah bermimpi bisa menjadi pacar seorang Kai. Pria yang semua orang tahu sangat posesif terhadap sepupunya begitu juga sebaliknya.

Ia terkekeh yang berakhir menjadi sebuah ringisan karena bibirnya tak sengaja bergerak. Sebelumnya bibirnya tidak terasa apa-apa sebagai efek obat yang disuntikan dokter sebelum menjahit bibirnya. Tapi, sepertinya efek obat itu sudah hilang. Dengan cepat hilang sehingga rasa sakit itu terasa lagi.

Kai berjalan mendekat dengan tangan membawa keresek kecil di tangan kirinya. Pria itu menyerahkan sebuah masker sekali pakai yang masih berplastik rapi padanya.

"Biar gak jadi perhatian orang-orang."

Fay masih diam. Sejenak ia mengedarkan tatapan ke sekeliling. Benar saja beberapa orang dan kebanyakan anak-anak memperhatikan ke arahnya. Seseorang yang bibirnya diperban pasti menarik perhatian.

"Nih." Kali ini Kai memberikan masker itu setelah membuka bungkus plastiknya. "Dipakai. Biar lukanya gak kena debu juga."

Sedikit tidak masuk akal sih. Lukanya tidak akan terkena debu walaupun tidak bermasker karena perban ini saja sudah cukup untuk menghalau segala macam gangguan dari luar.

Lantas Fay menerimanya dan mengaitkan tali nya pada kedua telinganya. Kai menggenggam tangan Fay, kemudian ia dan Kai melangkah keluar dari klinik. Menuju mobil sport Kai yang terparkir di parkiran.

Kai membukakan pintu untuknya yang kemudian dia tutup. Kai tidak membuka percakapan sama sekali selama perjalanan pulang. Hanya diam sambil fokus menyetir. Pria disampingnya ini mengerti bahwa sulit sekali untuk ia berbicara sekarang. Dari mana lagi Fay akan menemukan pria sepengetian Kai?

Tak lama mobil sport itu sampai di depan gerbang setinggi dada orang dewasa berwarna hitam yang mana merupakan gerbang rumahnya. Fay melongok ke luar jendela dan menemukan mamanya, Bang Arbani, Alvin serta papanya duduk di luar menunggu kepulangannya. Tanpa menunggu Kai membukakan pintu untuknya Fay sudah lebih dulu keluar. Mendorong gerbang yang tidak dikunci.

Mama dan papanya langsung beranjak dari tempat duduknya menghampiri Fay dan menanyakan keadaanya.

"Kata dokter cuma luka kecil." Kai mewakili menjawab persis seperti yang dokter katakan saat Kai bertanya keadaan Fay tadi sewaktu di klinik.

"Dia diberi dua jahitan." Jelas Kai sambil melirik pada wajah Fay yang sedang mengkondisikan wajahnya untuk tidak mengernyit.

"Lukanya bakalan cepet kering kalau Fay minum obatnya." Kai menyerahkan sekeresek kecil obat yang di dalamnya terdiri dari tiga macam pada Arbani, yang harus Fay minum satu jenis sebelum makan dan sisanya setelah makan.

Fay menatap Kai dan mengangguk, membenarkan apa yang dikatakannya.

"Fay." Alvin meringis. Terlihat jelas sekali raut penuh rasa bersalahnya.

Unfairness (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang