Hai, selamat pagi
Tinggalkan vote sama komentarnya ya
Jangan lupa tambahkan ke perpustakaan kalian kalau suka
Selamat membaca!!
***
Kara meminggirkan motornya setelah berada di jalanan yang cukup sepi, hanya ada satu dua motor melintas. Dia sudah tidak kuat untuk menahan pertanyaan yang bergejolak di dalam dadanya sejak berada di ruang rawat VIP Fanya. Hana turun dari boncengannya, helaan napasnya terdengar keras saat jemari kecilnya mencopot helm dari kepalanya, lalu menjinjingnnya. Tidak bertanya kenapa Kara meminggirkan motornya padahal belum sampai seperempat jalan menuju rumahnya karena ia tahu penyebabnya.
Percakapan dengan Fanya yang ternyata mengenal mamanya dan mengetahui tentang perceraian orang tuanya pasti menjadi alasan Kara meminggirkan motor dan diam menatapnya dengan rahang menegang. Marah, kesal, kecewa, itu semua seolah tergambar dengan jelas di wajah Kara tanpa ia mengira-ngiranya.
"Kenapa lo gak pernah bilang sama gue?" baru pada detik ke dua puluh Kara bertanya. Suaranya pelan dan terkesan dingin.
Kara sama sekali tidak turun dari motor. Helm masih bertengger di kepalanya, bahkan tangannya tak beranjak satu senti pun di atas stang motor.
"Perceraian bukan sesuatu yang patut gue ceritakan." Itu jawaban Hana, tak kalah dinginnya.
Dada Hana bergemuruh di dalam sana. Melihat wajah Kara yang menggambarkan kekecewaan karena dirinya tidak pernah memberitahukan hal tersebut padanya. Hana tidak kuat melihatnya. Posisinya sangat sulit sekarang.
"Tapi, gue sahabat lo." Ujar Kara.
Jelas itu alasan kenapa Kara kecewa padanya. Sebagai sahabat Hana tidak menceritakan apapun. Merasa tidak berguna sebagai sahabat karena tidak tahu kejadian mengerikan yang dialami sahabatnya.
"Udah berapa lama?" sambung Kara suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.
"Setahun lebih."
Dalam sekejap wajah kecewa Kara kian buruk. Seperti hancur.
"Dan lo gak ngasih tahu gue hal itu?"
"Gak ada yang bisa gue banggain dari perceraian orang tua. Gue hancur, dan gak mau lo ikut-ikutan bersedih."
"Tapi gue sahabat lo." Ucap Kara dengan sedikit penekanan. Matanya memerah, berkaca-kaca.
Masalahnya berpusat pada posisi Kara yang adalah sahabatnya.
"Apa selama ini lo gak pernah anggap gue sahabat lo?" sambung Kara.
"Gue pikir lo gak perlu tahu."
"Kenapa?" Kara tiba-tiba berteriak. Membuat Hana berjengit mundur karena kaget. "Na, lo tahu gimana perasaan gue sebagai sahabat saat tahu orang tua lo cerai dari orang lain dan lo gak ngasih tahu sama gue?"
Hana mengulum bibirnya, menunduk menghindari menatap mata Kara yang sedetik lalu mengeluarkan air mata.
"Gue ngerasa gak berguna sebagai sahabat. Apa lo anggap persahabatan kita selama ini sebagai beban? Apa yang lo rasain sama gue selama ini? Gue harus jadi apa? Tinggal di sisi lo gue harus sebagai apa kalau sahabat aja gak buat lo terbuka sama gue? Waktu lo nolak gue bebrapa tahun lalu, gue berpikir kalau emang sebaiknya gue sama lo sahabatan supaya lo nyaman, supaya lo terbuka sama gue. Nyatanya sebagai sahabat aja lo gak cerita apa-apa tentang orang tua lo sama gue?"
Kara tiba-tiba tergelak, menyusut air mata menggunakan tangan kanannya. "Tadi, gue kayak orang bego banget di depan Tante Fanya. Kalian ngobrolin hubungan ibu sama ayah lo dengan orang baru dan gue di samping lo cuma diem. Lucu, orang terdekat lo gak tahu apa-apa tentang itu. Apa selama ini persahabatan kita cuma lelucon buat lo?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Unfairness (SELESAI)
Fiksi Remaja"Gue suka sama lo." Fay menatap datar pria yang saat ini berdiri di samping bangkunya. "Gue suka sama lo." ucap Kai untuk yang kedua kalinya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya. Membuat perhatian teman sekelas Fay langsung tertuju padanya...