11. Fitnah.

5.1K 551 66
                                    

Sena dan Renjun sudah kembali berada di jalan, di antara beratus-ratus mobil yang bergerak pelan atau yang lebih akrab dipanggil macet.

Setelah bermain bombomcar, mereka—Dreamies dan lainnya—lanjut bermain di area permainan Timezone. Tak pelak juga mereka sering bolak-balik counter demi mengisi ulang saldo.

Satu-dua jam dihabiskan, dan akhirnya mereka memutuskan mengakhiri acara jalan-jalan, dengan mengisi perut yang telah berteriak minta diisi; makan.

Capcipcup sebentar antar perempuan, lalu sedikit pertanyaan antara Jung bersaudara yang saling menanyakan soal pulang bersama—pada akhirnya diputuskan bahwa mereka akan pulang masing-masing—dan setelahnya, acara jalan-jalan kali ini resmi selesai.

Sena menatap kosong ke arah jendela mobil, memandang kendaraan beroda empat yang saling meneriaki klakson satu sama lain. Tatapannya boleh terlihat kosong, namun Renjun tahu betul bahwa itu hanyalah sandiwara semata.

Semua orang akan sadar jika melihat keadaan Sena saat ini; ia memikirkan banyak hal. Dan tentu Renjun tidak akan membiarkannya. Setelah mengetahui betapa sepinya kehidupan sang calon kekasih, Renjun sudah berjanji bahwa ia tak akan membiarkan Sena sendirian lagi.

"Sena, kenapa?" Tangan Renjun bergerak memegang bahu Sena, mencoba mengambil perhatiannya—dan berhasil—Sena menolehkan kepalanya bingung, khas orang linglung.

"Hah, gue kenapa?" Sena malah bertanya balik, makin menunjukkan ciri-ciri orang linglung.

"Hm, itu tadi- beneran adek lo?" tanya Renjun hati-hati, takut menyakiti perasaan Sena.

Renjun selalu berpikir layaknya gentleman jika sudah berhadapan dengan Sena, selalu menganggap hati Sena rapuh laksana batang kayu berumur, dan berusaha menjaga lisannya agar tak setajam pisau yang dapat melukai perasaan sang calon kekasih.

Sena tertawa singkat mendengar pertanyaan aneh Renjun. "Iyalah, ya kali ini boongan? Nggak mungkin, 'kan, dia saudara tiri gue?"

"Eh?" balas Renjun yang menyadari pertanyaan konyolnya, "Enggak, maksud gua bukan itu- duh gimana ya? Aneh juga, sih, gua nanyanya- ah lupain aja, Sen!" Renjun berusaha meralat ucapannya tadi, namun yang terjadi ia malah mengacaunya, dengan perkataan cepatnya itu.

Sena menaikkan salah satu alisnya heran, sedangkan bibir tipisnya tersenyum samar. "Lo tuh kenapa, sih, Njun?"

"Hah, gua kenapa?" Kali ini, Renjun-lah yang menunjukkan ciri khas orang linglung.

Sena menghela napas, bingung dengan tingkah laku Renjun yang sangat aneh.

"Tadi itu beneran, kok. Jung Lami, adek gue. Marganya aja sama, gimana sih?"

Renjun dengan cepat menyergah, "Heh, Sen, nggak semua yang marganya sama itu saudara! Lee Haechan sama Lee Jeno? Mana ada mereka saudaraan? Sama bang Mark? Mark Lee? Enggak tuh, cuman sekedar tetangga. Jangan sama ratain gitu, Sen."

Sena terkekeh pelan, gemas rasanya melihat Renjun bertingkah cerewet seperti ini. Tanpa sadar tangannya bergerak menepuk kepala Renjun pelan. "Iya-iyaa, gemes banget, sih, lo bawel gitu? Haha."

Renjun terdiam menatap Sena, lalu mengalihkan pandangan ke arah depan, memajukan mobil perlahan seiringan dengan mobil yang lain. Hati gue kenapa ini, astaga, batinnya.

Bersamaan dengan Renjun yang mengalihkan pandangannya, Sena pun tersadar akan kelakuannya tadi.

"Y-ya ampun...." gumam Sena malu. Bisa-bisanya dia bertindak kurang ajar seperti itu, Renjun pasti akan menendangnya jika ia mencoba melakukan lebih—yang untungnya tidak ia lakukan— "So-sorry, ya," lanjut Sena salah tingkah, sedangkan Renjun hanya berdeham pelan.

DARE | HUANG RENJUN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang