21. Keluh-kesah Sena

4.4K 466 83
                                    

"Pemenang olimpiade IPS kali ini adalah, Jung Sena dari SMA Nusa Bangsa!"

Suara tepuk tangan mulai mengudara, teriakan penuh bahagia datang dari guru dan teman-teman satu sekolah. Ada beberapa siswa yang berdecak kesal, ada juga yang menangis karena ternyata mengalami kekalahan. Yang pasti, itu bukan Sena.

"Selamat ya, Sena!" Gurunya yang pertama kali mengucapkan kata selamat, mengelus pundak Sena; cara lain untuk mengatakan bahwa dirinya dan sekolah bangga pada Sena.

"Terima kasih, Bu," balas Sena tersenyum, sebelum akhirnya maju ke tengah aula untuk menerima penghargaan.

"Selamat," bisik seseorang.

Sena terkejut- ah, benar. Park Siyeon. Mana mungkin ia dapat melupakan bahwa teman barunya ini juga memenangkan olimpiade sains?

"Lo juga," jawab Sena.

Siyeon mengangguk pelan, memilih fokus pada upacara penutupan yang akan segera dimulai.

Bagi kalian yang belum tahu, acara pemberian penghargaan biasa diberikan saat upacara telah mencapai setengah kegiatannya, atau saat-saat terakhir juga bisa. Kali ini, pemberian penghargaan akan diberikan di akhir upacara.

"SMA Nusa Bangsa lagi-lagi memborong juara," ujar Pembina Upacara berbasa-basi sebelum memberikan medali beserta piala.

"Selamat, ya, kalian berdua." Sebuah jabatan tangan disambut ramah juga dengan senyum yang terlampir. Akhirnya, segala urusan Sena dan Siyeon hari ini pun selesai.

"Lo nggak takut deket-deket sama gue gini?" tanya Sena berbisik, di saat mereka sedang berjalan menuju parkiran.

"Hina maksud lo?" balas Siyeon peka. "Gue nggak yakin dia bakal notice apa enggak, soalnya kalau lo lihat, dia lagi asik nangis sama pendampingnya di sana."

Mata Sena melirik ke arah yang Siyeon tunjukkan, dan ternyata benar. Hina berada di dekat bus sekolahnya, sedang menangis dan teman-temannya berusaha memberikan hiburan.

Entah hanya sekedar paranoid atau bagaimana, namun Sena merasa bahwa Hina daritadi memperhatikannya. Tetapi itu tidak mungkin, karena ia sedang sibuk menangis, 'kan? Untuk apa pula Hina memberi perhatian lebih?

Bisa saja, sebenarnya.

"Kalian sekarang boleh pulang, tapi kalau mau pakai bus sekolah, harus tunggu lebih lama lagi karena kita masih nunggu buat ngambil sertifikatnya. Dan piala beserta medali boleh kalian bawa pulang dulu, kok. Tapi besok bawa lagi, ya! Sekolah mau menduplikat soalnya," jelas Guru Pendamping mereka panjang kali lebar.

"Harus banget dibawa besok, Bu?" sahut Siyeon dengan nada bercanda. "Kalau hilang, gimana?"

Guru Pendamping—Bu Irene—hanya bisa menggeleng-geleng tak percaya. "Sebenarnya tidak apa-apa, karena itu punya kalian. Tapi jangan sampai hilang, ah. Itu penghargaan untuk keberhasilan kalian. Sekolah, sih, masih bisa menduplikat dengan cara minta contohnya ke pihak panitia."

Siyeon mengangguk, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia terhibur.

Sena pun menemukan bahwa pembicaraan tadi cukup lucu. Namun sekarang ia sedang sibuk memikirkan langkah apa yang harus ia ambil.

Ia ingat percakapan terakhirnya dengan Renjun. Lelaki emosian itu memintanya—atau mungkin lebih ke kata menantang—untuk lebih berani kali ini.

Sekali ini aja. Coba kasih tahu keluarga lo, dan lihat apa reaksinya. Please.

Benarkah? Bagaimana kalau kemungkinan yang Renjun berikan ternyata salah?

"Sen," panggil Siyeon keras, menyenggol siku Sena pelan. "Jangan bengong, lo ditanyain mau pulang pake gojek atau nunggu bus sekolah?"

DARE | HUANG RENJUN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang