22. Labrak!

4.4K 446 49
                                    

cerita ini hanya karya fiksi.
tolong jangan dibawa ke rl, thanks.

***

Langkah kaki Renjun berakhir di salah satu bangku kantin rumah sakit. Kepalanya ia telungkupkan dalam kukungan kedua tangan, merasa frustasi dengan perasaan yang ia rasakan saat ini.

Ia merasa sedih, jelas. Sena-nya sedang terbaring lemah di dalam UGD sana. Ia juga merasa puas karena dapat memarahi keluarga Sena yang seperti dugaannya, tidak tahu apa-apa. Namun di saat bersamaan, ia juga merasa bersalah.

Apakah benar tindakannya tadi? Membentak, mengumpat, memarahi kedua orang tua Sena yang bahkan seumuran dengan orang tuanya sendiri? Akankah ia disebut durhaka?

"Njun," sebuah suara memanggil dari arah belakang. Itu Haechan, dengan yang lainnya, menyusul Renjun yang melarikan diri ke kantin.

"Lo nggak apa-apa?" tanya Haechan, menduduki kursi di hadapan temannya yang sedang frustasi.

"Gapapa," jawab Renjun pelan. "Gimana keadaan keluarga Sena sekarang?"

"Nangis semua," balas Siyeon datar. "Yang paling kenceng udah pasti mamanya Sena. Bahkan para suster ikut turun buat nenangin mereka yang histeris. Nggak ada yang saling menguatkan satu sama lain, mereka semua sama-sama merasa bersalah."

Renjun mengangguk paham. "Warga bilang, Sena ditabrak lari."

Semua pandangan fokus menatap Renjun.

"Gue harus cari pelaku penabrakan ini secepatnya," Renjun bertekad, tangannya langsung mengepal kuat.

"Biar nanti om gue urus," celetuk Jeno.

"Makasih, Jen."

"Sans."

Hening. Tidak ada yang berbicara. Masing-masing dari mereka sadar bahwa sekarang bukanlah waktu yang pas untuk bercanda gurau, apalagi setelah mendengar penjelasan Renjun tentang perasaan Sena.

Bahkan kalian semua, yang sedang membaca paragraf ini ikut sedih ketika mengetahuinya. Apalagi mereka, teman-teman yang Sena miliki.

"Tangan lu sakit gak, lur?" sahut Jaemin, menatap telapak tangan Renjun yang masih memerah, bahkan sedikit mengeluarkan darah.

"Kagak."

"Iyalah," timpal Haechan sembari tertawa renyah. "Yang harus lo khawatirin, tuh, kondisi dinding yang Renjun tonjok. Apa nggak sakit, hah, tiba-tiba jadi korban begitu? Padahal mah dindingnya diem doang."

Jeno terkekeh pelan. "Bisa aja lo, Chan."

"Bisa, lah, Haechan gitu," balas Haechan tersenyum bangga.

Ting!
Ting!

"Buset, hape siapa itu? Suara notifnya gede banget, kalah speaker tempat mama gue biasa senam," komentar Haechan lawak.

Siyeon berdesis, menatap Haechan tajam. "Punya gue," jawabnya sembari mengecek isi notif yang tadi menimbulkan kebisingan.

Haechan memilih bodoamat dengan tatapan tajam Siyeon, sudah terbiasa.

Jeno menatap kekasihnya yang fokus terhadap ponselnya. Memperhatikan gerak-gerik sang gadis yang sudah menemani hari-harinya selama bertahun-tahun.

"Siyeon," panggil Jeno, menyadari perubahan raut wajah Siyeon yang mengeras. Orang-orang mungkin tidak dapat mengetahuinya, namun ini Jeno, kekasih Siyeon. Tak mungkin Jeno tak hafal dengan gerak-geriknya.

"Siyeon," ulang Jeno. Raut wajah Siyeon kini kembali berubah, menjadi seperti tak percaya, dan itu mengundang rasa ingin tahu Jeno.

Siyeon menoleh, menatap Jeno tak percaya. "Apa...?"

DARE | HUANG RENJUN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang