° Menjadi seorang ayah adalah hal terbaik yang pernah kupinta. °
•••
°
°
°
°
•••Jeon Hoseok sudah menyusun sederetan skema yang akan dia kerjakan di masa kini. Menata prospek yang akan ia jalani untuk kehidupan di masa mendatang agar kehidupannya terjamin ketika dirinya sudah memasuki usia senja.
Menjadi salah satu siswa dengan nilai tertinggi di sekolah, menjadi lulusan dengan predikat terbaik di universitas dan menjadi pria pekerja keras yang bisa mengumpulkan pundi-pundi uang sebagai modal untuk membangun keluarga yang dia impikan sejak kecil.
Lucu memang.
Di umur ke-delapan tahun, Hoseok sudah membayangkan keluarga ideal yang akan dia ciptakan; mempunyai hunian yang sederhana, memiliki istri yang cantik hatinya dan sebagai tambahan ada anak-anak lucu yang memberi warna di dalam rumah.
Hoseok merasa sangat bersyukur sebab kehidupannya berjalan dengan luar biasa baik; tanpa hambatan.
Ayah bijaksana, ibu pengertian, adik penyayang, rumah hangat dan juga teman-teman yang mencintainya. Kehidupan di luar itu pun terasa amat menyenangkan. Dirinya disegani banyak orang, hampir tidak mempunyai musuh yang merugikan dan yang paling membahagiakan bagi Hoseok adalah ketika keluarga yang selama ini dia idam-idamkan, satu-persatu dari pilar penyokongnya mulai terbentuk.
Namanya Park Hyunhee. Gadis yang merangkap sebagai rekan kerjanya di kantor. Diam-diam Hoseok menaruh rasa pada perempuan bersurai panjang tersebut. Entah karena apa, tiba-tiba mereka menjadi semakin dekat. Hoseok tak ingat, tetapi sebelum benar-benar terikat dalam hubungan yang saling melabeli diri sebagai kekasih, pemuda itu sudah sering mengantar-jemput Hyunhee.
Sudah banyak waktu yang Hoseok dan Hyunhee lalui sebagai sepasang kekasih, di tahun ke-dua, Hoseok melamar Hyunhee dengan memberikan sebuah cincin bermata berlian saat mereka tengah berada di puncak bianglala. Pasangan ini resmi menikah, lalu memilih hidup bersama di dalam rumah sederhana yang berada sedikit jauh dari keramaian pusat ibukota.
Sekon demi sekon terlewati, perlahan, kehidupan seorang Jeon Hoseok hampir menyentuh semua poin yang sudah dia coretkan untuk hidupnya. Nyaris sempurna.
... atau barangkali selama ini hidupnya memang sudah sempurna?
Sayangnya, ternyata Hoseok melupakan fakta kalau di dunia itu tidak ada yang sempurna. Bahkan malaikat yang katanya disebut sebagai ciptaan yang paling sempurna pun memiliki kekurangan. Lantas bagaimana dengan dirinya yang hanya manusia biasa? Cacat, pastinya.
Buruknya, cacat itu terletak di bagian hidup yang paling Hoseok harapkan.
"Matahari itu tidak membasahi bumi dengan air hujan. Hei, jangan menangis, Sayang."
"Aku tidak menangis, Hee. Jangan sok tahu."
Hyunhee menatap sayu suaminya yang tengah balik memandangnya dengan wajah yang tampak cemas dan kalut. Perempuan itu membawa kedua tangannya yang bergemetar untuk membingkai wajah Hoseok. Mata yang terlihat sembab, permukaan kulit wajah yang lembab dan sedikit lengket. Padahal jejak-jejak dari tangisan itu terlukis jelas di atas wajah suaminya. Menampilkan senyum yang tak sampai menyentuh ujung mata, Hyunhee mengambil tangan Hoseok yang tengah membelai surainya yang sudah lepek karena keringat.
"Maaf," ucap Hyunhee lirih, dan itu mampu mendobrak pertahanan yang mati-matian Hoseok usahakan.
Pendarahan hebat pascamelahirkan. Hyunhee tak pernah menyangka jika dirinya akan mengalami hal semenakutkan ini. Babak paling mengerikannya adalah ketika dirinya seperti sudah tahu di detik keberapa napas terakhirnya akan terembus.
Di tengah kekhawatiran ini, Hyunhee sedikit merasa lega sebab dirinya sempat melihat sosok malaikat kecilnya; masih diberi kesempatan untuk mendengar suara tangisan pertama buah hatinya; masih mampu mengecup kepala dari anak kandungnya. Tetapi Hyunhee merasa menyesal dan bersalah tatkala menyadari kalau dirinya tak bisa menemani sang suami untuk melihat tumbuh-kembang putra pertama mereka.
"Jangan pergi, Park Hyunhee. Tolong bertahalah untukku. Bertahan untuk anak kita. Bertahan untuk impian-impian aku dan kau. Bertahan untuk ... untuk-"
"Jadi ayah dan ibu yang baik untuk Jungkook-ie, ya, Ayah Hoseok. Aku mencintaimu, sangat. Aku juga mencintai malaikat kecil kita, selama yang kumampu, hingga napas terakhir yang kupunya habis dirampas semesta."
Katanya, jika kau tak pernah merasa sulit dalam hidup, ada satu titik di mana kesulitan yang tak pernah hadir itu akan menyerangmu tanpa belas kasih. Kau akan dipatahkan sepatah-patahnya, bahkan berkeping-keping takkan mampu menggambarkan seberapa hancur hatimu itu. Hancur mumur; lebih dari sekadar berkeping-keping. Kini Hoseok tengah berada di titik itu. Istrinya berpulang. Meninggalkan dirinya dengan setumpuk kenangan yang selalu menghantarkan perasaan gamang.
Hoseok berjalan dengan langkah terseok di koridor rumah sakit. Pria itu merekam dengan baik senyum terakhir yang ditampilkan Hyunhee kala itu. Bersamaan dengan itu memoar manis yang sempat dia pahat bersama dengan istrinya kembali terputar di pikiran, dan hal tersebut sukses membuatnya kembali terdampar pada realitas menyakitkan yang tengah menghantuinya.
Jangan menangis! Meski terasa sakit dan menyesakkan, jangan biarkan satu tetes air lolos dari matamu, Jeon! Senyum! Demi Hyunhee. Demi Jungkook-demi anakmu sendiri.
Memasang segaris senyum tatkala seorang perawat menuntunnya untuk mendekati sebuah keranjang bayi di dalam ruangan khusus bayi.
Begitu polos, sangat indah dan murni.
Hoseok menunduk, mencium dengan lembut pipi yang masih berwarna kemerahan milik anaknya. Mengusap pelan rambut-rambut hitam tipis di atas kepala bayi tersebut. Pria itu bergumam-mengajak bocah polos itu dalam konversasi singkat yang hanya dimengerti oleh dirinya.
"Jadi anak yang hebat, ya, jagoan Ayah. Supaya kau bisa menghadapi dunia yang terkadang akan melibatkanmu dalam perjalanan yang tak terduga. Agar kau mampu menghadapi candaan semesta yang suka kelewat batas." Menahan napas, mengulum senyum setelahnya. Selamat datang di dunia, Jeon Jungkook." []
•••
"hidup adalah perjalanan.
pada setiap perjalanan selalu ada rintangan.
namun akan ada sebuah penyelesaian-
titik yang akan mengantar ke ujung kehidupan,
perihal semesta pada sisi lain;
bentuk dunia yang tak gemar lempar candaan:
mengenai puncak kebahagiaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta
Fanfiction[Judul Book Version: Cosmic Latte] Dalam sungai kehidupan yang dialiri kisah berisi air mata dan tawa dari afeksi, serta diiringi konversasi dengan rasa manis dan pahit pada setiap sekon yang terlampaui. Dari hulu sampai hilir. Bermuara pada batas p...