01. Senyum Pengusir Penat

4.5K 611 73
                                    

° Sudahkah kamu tersenyum hari ini? °

°°°

Matahari sudah tergelincir; mulai melenyapkan eksistensi di kaki langit di sebelah barat. Kumpulan awan berarak di cakrawala yang kini sudah dinodai warna jingga keunguan yang indah kala dipandang. Senja kali ini terlihat begitu menawan.

Terdiam selama beberapa sekon seraya memandang panorama sore yang cukup menyegarkan mata dari balik kaca, namun setelahnya Hoseok meloloskan satu hela napas jengkel. Sudah hampir satu jam mobilnya stagnan di tempat, benar-benar tidak bergerak barang sedikit pun. Macet total. Parah. Senin memang selalu seperti ini, ya? Mengesalkan dari pagi datang hingga petang memunculkan diri.

Pria berusia tiga puluh satu itu menjatuhkan kepala pada kemudi. Memandang hiruk-pikuk ibukota yang masih padat merayap meski sang fajar sudah mulai menyapa belahan bumi lain. Hoseok kembali mengembuskan napas jenuh ketika mengingat pekerjaan yang dijejalkan padanya tadi pagi. Ketika dia baru saja mendaratkan bokong pada kursi, tiba-tiba dirinya mendengar jeritan dari ratusan kertas laporan yang meminta untuk diperiksa, direvisi dan kemudian diserahkan kepada atasan untuk dibubuhkan tanda tangan. Saking sibuknya ia sampai melewatkan jam makan siang, dan kini perutnya meronta minta diisi menu harian.

Sejenak kembali melempar atensi pada ruang horizon sembari meletakkan dagu di atas setir. Hoseok menggunakan pijaran samar berwarna oranye tersebut sebagai media untuk menggantungkan semua memoar yang terpendam di pikiran; menaruh seluruh kesan di atas sana; kembali memutar gugusan kenangan di dalam sunyi yang membisukan bunyi.

Empat tahun sudah berlalu semenjak Park Hyunhee berpulang dan memilih untuk duduk manis di sebelah singgasana Tuhan. Selama itu Hoseok selalu meyakinkan diri kalau dirinya mampu berlalu; sanggup melewati semua detik demi detik tanpa wanita yang dicintai di sisinya; bisa hidup hanya dengan Jungkook.

Hoseok kira semuanya akan berjalan lancar, benar-benar tanpa hambatan. Tetapi semuanya terasa sulit, melupakan seseorang ternyata bukanlah perkara yang mudah untuk dilakukan.

Ditinggalkan pasti akan menyisakan kepingan pahit-manis memori yang membekas di ingatan, tidak akan mudah digoyahkan dengan kata penyemangat semacam—Tidak apa, Jeon! Kau itu lebih hebat dari siapa pun. Kau masih bisa bernapas meski tanpa Hyunhee, sebab kau masih punya oksigen untuk hidup.

Tetapi dia terlalu naif. Munafik. Sudah satu minggu setelah Haneul dikremasi dan selama itu pula Hoseok mengurung diri seraya merenung di dalam kamar. Melupakan dunia, melupakan dirinya sendiri dan juga melenyapkan entitas sang anak dari pikiran. Tidak makan dan tidak berinteraksi dengan siapa pun.

Hoseok pun masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana temannya—Min Yoongi—masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk pintu, dan tanpa permisi langsung memukul rahang Hoseok yang kala itu seperti manusia setengah mati separuh hidup; sekarat.

"Hei, keparat! Aku tidak akan peduli kalau pun kau mau mati sekarang atau tidak, pecundang! Tapi yang kucemaskan adalah kondisi anakmu. Jika kau saja bisa sehancur ini karena kehilangan istrimu, mampukah kau membayangkan seberapa hancurnya perasaan anakmu kalau dia tahu jika ayahnya sudah seperti manusia penyakitan yang tengah menunggu kematian. Sial, sekarang hidupmu bukan hanya milikmu, bodoh. Bangkit, Jeon Hoseok! Relakan Hyunhee, biarkan dia pergi dengan tenang."

Bukan Min Yoongi namanya kalau pria itu tidak melontarkan argumen yang mengandung sarkasme yang sialnya benar dan tepat sasaran. Sukses menampar telak Hoseok hingga pria itu kembali menempatkan diri pada realita yang tak ingin ia hadapi. Yoongi benar, hidupnya sekarang bukan hanya miliknya.

Sesudahnya Jeon Hoseok mencoba untuk berdiri dengan tubuh tegap; mencoba memandang ke arah depan tanpa menunduk (melirik masa lalu) dan memantapkan dirinya kalau setelah ini kehidupannya akan terasa sangat baik jika dia mulai merelakan Hyunhee dan menyimpan kenangan mengenai istrinya rapat-rapat di dalam hati.

Oksigen memang sumber kehidupan, namun Jeon Jungkook adalah satu-satunya alasan yang bisa membuatku mampu ada hingga sekarang.

Hoseok juga menjadikan Yoongi sebagai salah satu orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya.

Suara klakson yang mengudara sukses membuat Hoseok kembali terdampar pada kehidupan yang tengah ia jalani sekarang. Mematri seulas senyum, Hoseok mulai melajukan mobilnya di jalan yang perlahan mulai lengang dan secara bertahap mobil-mobil mulai bergerak maju. Dia jadi ingin cepat sampai rumah dan menyapa si malaikat kecil yang seharian ini sempat mangkir dari pikirannya.

Lantas setelah dirinya berhasil mendarat di rumah dengan selamat, pria beranak satu itu menggaungkan suara besarnya di depan rumah. Bukannya sambutan yang didapat, Hoseok justru menemukan anaknya yang sedang bermain dengan Jeon Jimin—adik dari Hoseok—yang rambutnya di ikat kecil-kecil dan sebuah bandana juga terpasang apik di atas kepalanya.

Alih-alih mendengar suara tiruan tembakan seperti, dorr dorr atau piu piu, Hoseok malah mendengar ....

"Serangan senyum! Hiii! Hiiii!" Jungkook berlarian mengejar Jimin seraya memasang tarikan melengkung pada bibir yang membuat deretan gigi susu yang terawat terekspos dengan jelas.

"Ah! Tidaakkk! Senyuman Kookie terlalu manis! Aku tidak kuat!" Kemudian Jimin terkapar di atas sofa.

Setelahnya Hoseok terkekeh pelan melihat betapa konyolnya Jimin tatkala pemuda berumur enam belas itu itu pura-pura sekarat—jatuh ke lantai dengan gerakan slow motion diiringi dengan mimik wajah kesakitan yang luar biasa payah. Lalu Hoseok mendadak mendekat dan ikut terlibat dalam permainan.

"Woah! Penjahatnya bertambah satu! Kookieman harus bekerja lebih lebih keras lagi!"

Lalu setelahnya Jungkook kembali menyerbu ayahnya dengan hiii hiiii yang dia sebut sebagai serangan senyum. Ayah pernah bilang kalau senjata yang paling ampuh untuk merubuhkan semua kejahatan bukanlah pancaran hyper, sepeda serba guna atau pun tongkat sihir abracadabra. Tetapi senyum adalah elemen paling kuat yang mampu melenyapkan mereka semua, termasuk perasaan sedih, letih dan pedih.

Kemudian bocah itu semakin gencar membingkai wajah sang ayah dengan jemarinya yang mungil. Melancarkan serangan senyum hingga bertubi-tubi.

"Hiii! Hiiiii! Hiiiiii!"

Gemas.

"Senyum Kookie terlalu manis! Ayah diabetes!"

Hoseok kemudian membawa tubuh putranya dalam rengkuhan penuh afeksi. Menghujani wajah Jungkook dengan ciuman. Mendadak rasa lelahnya meluap begitu saja.

Tuh, kan. Kookie memang yang terbaik. Senyuman Kookie adalah obat paling manjur untuk meregenerasi semangat yang sempat lenyap. []

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang