Akhir Dari Dongeng Tentang Candaan Semesta

1.3K 206 79
                                    

° semesta itu paling payah dalam urusan lempar canda, sebab tiada satu pun dari kita yang tertawa secara suka rela karena candaannya. °

•••

"Tok, tok, tok! Kookieman datang untuk menyemangati Anpanmin yang sedang kesakitan. Jiminie, tak apa jika memang merasa sulit, Kookie janji akan membuatnya tidak lagi terlihat sulit, kok.  Untuk seluruh harapan Jiminie yang hilang, Kookie akan menggantikannya dengan asa yang baru. Jiminie semangat! Jiminie hebat! Kookie sayang Jiminie banyak-banyak!"

Kemudian akhirnya Jungkook tersadar bahwa ruangan yang ia ketuk-ketuk sedari tadi ini sudah tidak berpenghuni sejak hari itu. Jiminie dengan senyum sehangat mentari tak ada lagi di kamarnya. Paman kesayangan Kookie yang biasanya tidak bisa melihat lantaran tertawa itu sudah tidak ada lagi di sana.

Senyuman yang semula secantik sabit bulan itu terabrasi sedikit demi sedikit, walau tidak luruh sepenuhnya. Jungkook mengepalkan tangan kecilnya di sisi-sisi tubuh, mengembuskan napasnya pelan-pelan, kemudian mengusap-usap pintu dingin di depannya dengan perlahan.

Hatinya sudah mantap. Hari ini ia tidak boleh terlihat murung atau sedih. Harus senyum, senyum, senyum, dan terus senyum. Bukan hari senyum nasional, sih. Hanya saja hari ini memang harus dipenuhi senyuman walau cuma setengah garis. Namun perlu diingat kalau sekarang ini bukan awal dari sebuah akhir, melainkan muara dari suatu hulu.

Jungkook mengedipkan mata bulatnya berkali-kali, lalu menarik napas dari hidung, lantas diembuskan dari mulut. Kemudian tangan yang masih terkepal itu terangkat ke udara, tepat di sisi wajah yang telah memasang ekspresi teduh terbaik yang ia miliki. "Ayo, semangat, Kookie," bisiknya pada diri sendiri. "Senyum, senyum, senyum!"

"Kookie, sudah siap untuk pergi ke makam?"

Hoseok membawa kaki untuk memangkas spasi dengan presensi si anak kesayangan yang sepenuhnya telah membuang atensi ke arahnya. Laki-laki itu sempat terpaku seperempat sekon begitu mendapati senyum anaknya yang terulas tulus, tanpa sadar ia membalas tarikan kurva itu yang tidak sempurna tetapi menyejukkan mata.

Tadi Kookie izin ke kamarnya dulu sebentar sehabis sarapan, tetapi ternyata anak itu mampir dulu ke kamar Jimin. Ada sekelumit perasaan rumit yang tak terjabarkan di relungnya, kendati yang pasti itu bukanlah konstelasi pokta dari perasaan yang menyenangkan.

Lagian apa yang menyenangkan di hari ini, huh?

Siapa pun pasti setuju pada fakta bahwa melepaskan seseorang untuk pergi itu bukanlah sesuatu yang bisa menyenangkan hati. Namun mau dikata apa, Hoseok tak mampu melakukan apa pun. Melihat Kookie yang bersikap tegar dan menerima segalanya dengan lapang dada, semerta-merta membuat Hoseok menirukannya.

"Mau berangkat sekarang, Yah?"

"Huum. Nanti Kookie tidak bisa berlama-lama dengan paman Jimin kalau datangnya kesiangan." Hoseok mengusap kepala sang anak penuh afeksi ketika bocah lelaki itu mengangguk-angguk paham. Sebuah jaket yang sedari tadi ia pegang mulai direntangkan ke tubuh Jungkook. "Yuk, pakai dulu jaketnya dan kita langsung meluncur ke tempat paman Jimin berada."

"Jangan menangis, loh, Ayah."

"Tidak akan," sahutnya pelan.

Tangan besarnya meraih tangan Kookie, digenggam sangat erat sembari dituntun untuk turun tangga dan bersiap-siap pergi ke sebuah pemakaman yang biasa mereka kunjungi saat menjenguk bunda Kookie.

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang