15. Hari Yang Terasa Berbeda Pt. 1

1K 189 32
                                    

°Hari di mana dia-dia merasa bahwa hari esok atau hari-hari yang akan datang tidak akan sama seperti hari-hari sebelumnya.°

°•°°•°°•°

Lapangan parkir di kampus, aku melihat motormu di sini, Jeon. Temanmu bilang kau tidak masuk ke kelas, tetapi kenapa motormu ada di sini, hm?

Omong-omong, aku berubah pikiran. Datanglah ke tempat di mana motormu berada. Berikan kuncinya padaku hari ini juga. Aku akan menunggumu sampai jam sembilan malam.

Persetan. Pesannya sudah ia baca semenjak sepuluh menit lalu, kendati pesan dari Haeda sudah ia terima dari jam sembilan pagi. Namun Jimin belum beranjak dari posisinya setelah terbangun dari tidur sekitar jam dua siang, bahkan ketika mendapat pesan dari Yoongi yang berisi foto Kookie bersama Jiyeon yang sedang makan es krim plus tertawa, ketika membaca itu Jimin dalam keadaan berbaring dan separuh sadar. Dia tidak bisa tidur, ia terjaga sampai pukul enam pagi sebelum akhirnya terlelap tanpa sadar, mungkin tubuhnya terlalu lelah sehingga ia jatuh tidur meski isi kepala tidak mengehendaki.

Sekarang sudah pukul tiga. Jimin kemudian bangkit, seketika membeku karena pening yang menginvasi kepala, sakit sekali. Ia menunduk, menetralkan pusing yang berangsur menepi, dan akhirnya duduk dengan tangan yang menarik sedikit rambut di kepala guna meredam kesakitan yang berdenyut-denyut di sana.

Bagus sekali. Kapan terakhir kali ia merasakan hal semacam ini? Padahal ia tidak mabuk, atau meminum sesuatu yang membuatnya jadi seperti ini, tetapi jika barangkali mengenai masalah yang tercampur di kepala, jelas itulah yang membuatnya mabuk—mabuk masalah hidup. Jimin tersenyum getir di sana. Jelas, ia demam karena kehujanan semalam.

"Jimin?"

Pintu kamarnya masih terkunci dari dalam ketika Jimin mendengar ketukan disertai suara kakaknya yang memanggil dari luar sana. Ia segera bangun, agak terhuyung-huyung, nyaris jatuh karena tersandung kaki sendiri, kendati akhirnya malah membuat tubuhnya menubruk pintu kamar lumayan keras. Lantaran hal itu, Hoseok yang ada di balik pintu terdengar panik, dan Jimin buru-buru membuka pintu untuk menggusur kekhawatiran kakaknya. "Iya, Kak?"

"Astaga, kau baik-baik saja?"

"Ya, aku tidak apa," katanya sambil menyandarkna kepala pada daun pintu. "Hanya hampir jatuh tadi."

Menghela napas agak lega kendati gurat cemas masih tercetak di atas wajahnya. "Kakak sudah datang ke kamarmu berkali-kali, tetapi pintunya masih dikunci, dan kau sepertinya masih tidur tadi. Namun tak menampik bahwa Kakak sempat mencari kunci cadangan kamarmu, karena Kakak takut kau kenapa-kenapa."

"Aku baru bangun sekitar satu jam yang lalu, Kak. Maaf karena membuatmu cemas." Jimin mencoba menjelaskan secara perlahan. "Tubuhku sepertinya agak kurang sehat karena kehujanan semalam, makanya porsi tidurku bertambah."

"Ya, kau terlihat sakit. Sangat sakit."

Ingatan si abang kembali berlayar pada kesan semalam tatkala ia yang mendengar Jimin menangis di dalam kamarnya. Spekulasinya berlarian ke ranah negatif, terlebih pada keapatisannya terhadap Jimin yang barangkali hal tersebut menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang membuat Jimin kesakitan, terluka dan dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Adiknya bahkan menjadi korban atas keegoisannya sendiri.

Netranya berotasi ke arah Jimin, melemparkan tatapan hangat sembari mengusap kepala si adik dengan dibaluri afeksi. "Kakak akan memanaskan sup untukmu," ucapnya sambil menggeser tangan ke dahi Jimin yang terasa agak panas, ia melanjutkan, "dan Kakak juga akan membawakanmu obat penurun demam. Sebaiknya kau cuci muka dulu. Kakak akan kembali ke kamarmu sesegera mungkin."

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang