19. Semesta Yang Semestinya

870 167 25
                                    

° katanya kebahagiaanmu tidak ada di sini, kebahagiaanmu ada di lain semesta °

•••

Perut Kookie sakit, rasanya sangat melilit, tetapi Kookie tidak ingin buang air besar, kok.

Dalam hatinya Jungkook kecil bertanya-tanya kenapa perutnya bisa sakit seperti ini? Memangnya kalau sedih atau melihat orang sedih, sakitnya juga akan sampai ke perut, ya? Ah, pasti jawabannya tidak, kan? Entah apa yang terjadi pada perutnya, untuk sekarang perasaan melilit di dalam sana sudah agak mendingan sebab mama Jiyeon sudah mengolesinya dengan minyak kayu putih.

Ayah bilang mungkin Kookie masuk angin atau terlalu banyak makan pagi tadi. Padahal kalau Kookie terka, sakit perutnya ini hadir sebagai isyarat jika Kookie sangat merindukan Jiminie saat ini, buktinya ketika Jiminie selesai mengisolasi diri di dalam kamar—setelah mengurung diri selama dua hari sehabis menangis di halaman kampus—dan membiarkan Kookie masuk ke sana, lalu tahu-tahu sakit perutnya tidak terlalu menyiksa lagi. Tidak sepenuhnya sembuh, tetapi Kookie sudah merasa lebih baik. Hehe, tetapi tidak dapat Kookie pungkiri juga, sih. Sebetulnya sakit perutnya hilang, ya, karena kehangatan yang diberikan oleh minyak kayu putih dan kehangatan afeksi mama Jiyeon.

Tidak apa kan karena Kookie awali dengan cerita soal perut Kookie? Kookie melakukan ini agar tidak tegang saja, soalnya kamar Jiminie terlihat lebih mencekam, lantaran yang biasanya punya senyum secerah mentari itu malah duduk terdiam sambil menekuk kaki dan membiarkan matanya kosong. Jimin seolah mengabaikan keberadaan Kookie yang berdiri tak jauh dari sisinya sambil memainkan jari.

Jungkook masih tidak mengerti sebenarnya Jimin itu kenapa? Kenapa dia menangis di depan umum seperti dua hari yang lalu? Memangnya tidak malu ditonton banyak orang? Lagian, kenapa orang-orang bertindak begitu jahat pada paman mochinya, huh? Orang sebaik Jiminie tidak pantas diperlakukan buruk oleh siapa pun, tetapi kalau Kookie jadi pengecualian. Jiminie itu target paling empuk untuk dijahili, akan tetapi saat ini Jiminie tidak pantas untuk diisengi, lebih pantas untuk dihujani afeksi supaya tidak sedih lagi.

Meski Kookie sudah berjanji untuk menemani Jiminie menangis, namun tahu-tahu Jiminie malah mengurung diri di dalam kamar seorang diri. Jiminie menangis sendirian, Kookie jadi sedih, terlebih ia juga melihat ayah yang kedapatan menangis ketika memasak makanan buat sarapan pagi tadi.

Setelah dua hari lamanya Jiminie stagnan di kamar tanpa kedapatan keluar, kini Kookie sudah dengan leluasa masuk tanpa perlu merasa takut ke dalam kamar manusia yang mengaku imut seperti marmut ini. Kookie terdiam sebentar, melirik Jiminie yang masih diam, ia bahkan sampai memperhatikan perut Jiminie, serta kedipan matanya, memastikan kalau pamannya masih bernapas, meskipun terlihat tidak hidup.

"Jiminie?" Mencoba memanggil untuk mendapatkan atensi, Kookie pikir itu tidak akan berhasil, tetapi ternyata Jimin menoleh ke arahnya. "Jiminie ... bagaimana perasaannya saat ini?"

Bisakah aku bilang bahwa sudah tidak ada rasa yang dapat aku definisikan selain rasa sakit?

Jimin membuang napasnya pelan-pelan. Matanya terasa berat, lehernya nyeri, perutnya sakit dan kepalanya pusing—lebih tepatnya juga pening sebab tornado di dalam otaknya masih terus bergerilya tanpa henti; membuatnya sakit, sakit dan sakit. Jimin mencoba meraih suaranya yang telah ia endapkan selama dua hari belakangan sebab dirinya yang tak ingin berbicara dengan siapa pun atau apa pun. Ia hanya menangis, terus meneteskan air mata di atas wajahnya yang sangat pucat. Pemuda itu merasa kosong bahkan ketika kepalanya penuh, hatinya memuat debit sesak yang begitu menumpuk dan membuatnya kesulitan bernapas.

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang