°Jimin tidak ingin dengar. Tidak melulu ingin diteror seperti ini. Namun, tetap, lelaki itu tak mau menambah beban orang-orang yang ia sayang. °
•••
"Jiminie tidak ingin tidur di rumah paman Yoongi saja?Bersama Kookie di sini?"
"Tidak, Kookie. Aku akan pulang dan menemani ayah Hoseok di rumah."
Ekspresi wajah Jungkook sontak berubah, sekilas serupa seperti raut ngambek bocah itu ketika tak diizinkan untuk pergi main hujan-hujanan akhir pekan lalu. Bibirnya ditekuk dalam, Jungkook melempari tatapan agak sebal ke arah pamannya. "Kenapa harus ditemani? Kan kita sedang musuhan dengan ayah, jadi biarkan saja ayah di rumah sendirian." Menunduk sembari memainkan jemari di bawah selimut yang menutupi kedua kaki dengan Jimin yang duduk di sisi ranjang. Resonansi suaranya agak lunak ketika menyambung kalimat, "Supaya ayah tahu bagaimana rasanya jadi Kookie akhir-akhir ini."
Jimin tak tahu harus menambal dengan apalagi untuk membuat sekiranya lubang-lubang di hati Jungkook tertutup walau cuma secuil, tatapannya luruh dan ia cuma mampu menampilkan secarik senyum yang dipaksakan. "Aku akan tetap pulang." Buru-buru meraih jemari Jungkook tatkala anak itu mulai menatapnya dengan manik yang sangat mendung. "Kenapa Kookie jadi terkesan seperti mau balas dendam, hm? Kookie marah benaran pada ayah, ya? Tadi katanya mau dimaafkan saja walau ayah tak bilang maaf."
"Kan Jiminie yang bilang tadi, Kookie kalau marah ya marah saja. Kookie kecewa, tahu. Jadi mungkin sebaiknya ayah sendirian saja di rumah." Jungkook menatap pamannya agak sebal. "Ini Kookie lagi bersikap seperti anak-anak, loh. Kookie sedang ngambek. Pokoknya lagi kecewa pada ayah, mau tarik-tarik rambutnya bila bertemu nanti, mau marah-marah. Tetapi, sepertinya Kookie salah lagi, ya?"
Jimin menggeleng. "Tidak, kok. Tidak salah. Bersikaplah seperti apa yang Kookie mau, jangan tahan perasaan Kookie, karena itu ...," meletakkan jeda di sana. Jimin mengangkat satu sudut bibir sedikit mengejek diri sendiri. "itu, sangat menyakitkan. Tetapi terkadang kita harus melihat banyak sudut pandang ketika menghadapi sebuah persoalan. Aku senang karena Kookie sekarang mau jujur pada perasaan Kookie sendiri, dan berarti sekarang aku harus membuat ayah Hoseok juga jujur pada perasaannya."
"Ya? Maksud Jiminie itu seperti apa? Apa ketika Kookie kecewa pada ayah, itu berarti ayah juga kecewa pada Kookie?"
"Bukan seperti itu, Sayang. Barangkali justru ayah sekarang sedang kecewa pada dirinya sendiri karena telah membuat Kookie kecewa dan sakit hati."
"Apa benar begitu?"
"Coba saja kita pastikan? Biarkan aku pulang, ya?"
"Ih, Jiminie-"
"Kookie tahu 'kan kalau tidak baik apabila membalas keburukan dengan keburukan juga? Ayah Hoseok pernah bilang begitu, kan?"
Bocah itu membongkar ingatan-ingatan di dalam almari otaknya. Dulu ayah kerap kali memberikan banyak nasihat baik, dan puluhan trik yang lebih wah wah dibanding beberapa ajaran sesat Jiminie yang terkadang sukses membuat Jungkook terlihat sangat polos sebab patuh sekali mengikuti didikan pamannya yang tidak-tidak. Jungkook tuh masih ingat soal ikan yang tidak bisa tidur karena kebanjiran, tahu. Dongkolnya masih tersisa.
Duh, keinginannya untuk menggunduli kedua alis Jiminie kembali mengambang, namun untuk sekarang bocah itu tidak bisa melakukannya. Tidak boleh, pokoknya. Jangan jahil pada Jiminie-simpan keisengannya buat nanti-nanti saja. Kini tatapannya dipusatkan lagi pada Jimin yang masih memandang ke arahnya. Sejenak memikirkan jawaban yang mesti ia berikan, walau tidak ingat kapan waktu pastinya, Jungkook hanya tahu bahwa ayah pernah berkata persis seperti ucapan paman Jimin barusan. "Ya, Kookie ingat, Jiminie," katanya. "Tetapi, tetapi, Jiminie!Pokoknya Kookie tidak mau kalau Jiminie pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta
Fanfic[Judul Book Version: Cosmic Latte] Dalam sungai kehidupan yang dialiri kisah berisi air mata dan tawa dari afeksi, serta diiringi konversasi dengan rasa manis dan pahit pada setiap sekon yang terlampaui. Dari hulu sampai hilir. Bermuara pada batas p...