Tiga hari sebelumnya.
Profesor Fraam der Linssen sedang duduk menikmati sepoci kopi panas, kebiasaan yang yang dia lakukan setelah praktek sore hari dan sebelum makan malam. Dan bersamanya kali ini adalah Dokter Derek De Groot, kolega sekaligus kenalan lama ayahnya. Dr. De Groot telah dua tahun bekerja di klinik yang dimiliki oleh Fraam bersama beberapa koleganya, dan menjadi dokter tetap di sana. Fraam sendiri hanya datang berkunjung sekali-kali karena dia juga memiliki tempat praktik pribadi serta pasien di beberapa rumah sakit. Selain itu kesibukannya mengajar dan melakukan seminar di berbagai negara membuatnya jarang memiliki waktu untuk menengok pria tua itu.
Pada usia di awal empat puluh ini Fraam memang berada di puncak karir. Usia yang cukup muda untuk pencapaian setinggi itu. Hasil kerja keras tak kenal lelah selama bertahun-tahun itu kini justru membelitnya dengan kesibukan yang hampir tak menyisakan waktu bersantai baginya. Kecuali bila dia bisa memaksa sekretaris pribadinya untuk mengatur jadwal seketat mungkin demi istirahat nyaman selama beberapa hari di villa miliknya di tepi pantai atau pondok di pedesaan. Atau bersantai menikmati matahari tropis di Hawaii atau Bahama.
"Ke mana lagi kali ini, Fraam?" tanya Dr. De Groot sambil menyalakan pipanya.
"St. Norbert Hospital, London," sahutnya singkat.
"St. Norbert huh?"
Fraam menoleh ke dokter yang lebih senior itu. "Punya kenalan di sana? Selain Sir Wyatt tentunya."
"Putri temanku, Lucy, kudengar menjadi siswa perawat tahun terakhir di sana. Lucy Prendergast, teman Mies. Dulu waktu masih kecil pernah ke sini beberapa kali. Mungkin kalian pernah bertemu tetapi kau pasti lupa. Sudah lama sekali. "
Fraam berfikir sejenak dan menggabungnkan sebentuk wajah dengan sebuah nama. Lucy. Kurus. Berambut wortel dan mata berkilat sehijau zamrud, dua gigi depannya yang ompong dan pemarah. Kombinasi luar biasa yang sulit dilupakan. Bahkan untuk ukuran seorang gadis kecil. Fraam teringat bagaimana Lucy berkelahi bak satria kecil melawan Jaan, kakak Mies, meskipun Jaan tiga tahun lebih tua dan juga jauh lebih besar, hanya karena gadis itu tidak mau diolok-olok tentang gigi susunya yang baru tanggal. Waktu itu dia sudah menjadi dokter muda sementara Lucy masih di tahun-tahun awal SD.
"Dokter Prendergast adalah temanku di universitas. Pria yang rendah hati dan sederhana. Cukup puas hanya dengan menjadi dokter umum di desa. Keputusan yang akhirnya disesalinya manakala si bungsu Lucy berminat menjadi dokter. Namun apa daya dua kakak laki-lakinya semua belum lulus sementara keuangan terbatas. Dua anak perempuan yang lain telah menikah semua. Punya lima anak di zaman sekarang ini memang terlalu optimis."
"Pasti Lucy masih sangat muda kalau sekarang masih di tahun akhir sekolah perawat," komentar Fraam ringan.
"Dua puluh satu tahun. Dia setahun lebih muda dari Mies."
Mies yang sedang dibicarakan tiba-tiba muncul. Tinggi semampai dengan rambut berwarna pirang madu membingkai wajah cantiknya, penampilan yang terlalu berlebihan untuk profesinya sebagai resepsionis di klinik. Kecantikan Mies bagaikan anggrek, eksotis dan tak terjangkau.
"Papa," dia memanggil ayahnya. Tetapi ketika melihat Fraam berada di sana juga, serta merta dia menghambur dan memeluk Fraam. "Fraam!" serunya.
Fraam tertawa sambil mendaratkan kecupan di pipi Mies.
"Kau jahat sekali, jarang mampir ke rumah. Aku sudah lama ingin kau ajak keluar!" rajuknya manja.
"Maaf Manis, aku sibuk sekali."
"Bagaimana kalau akhir minggu ini kau bawa aku makan malam dan berdansa."
"Sekali lagi maaf. Aku sudah punya janji."

KAMU SEDANG MEMBACA
Run To You (Terbit)
عاطفيةOpen PO Novel E-book Ready di google Play Link e-book ==> Bit.ly/EbookRTY Oh My God! I'm dating a (significantly) older man!