Lima belas menit kemudia Lucy telah duduk nyaman di jok mobil Fraam yang melaju mulus membelah jalanan datar kota Amsterdaam.
"Mau kemana?" tanya Lucy. Dia memang tidak membawa gaun yang layak untuk makan malam di mana pun. Dia datang untuk bekerja, bukan untuk bersenang-senang. Jadi kemanapun Fraam akan membawanya laki-laki itu harus menyesuaikan dengan busananya yang sederhana.
"Ke rumahku," jawab Fraam kalem. "Tapi kau tak usah khawatir. Keluargaku tidak berada di sana."
"Aku tidak takut bertemu mereka," sahut Lucy. "Aku menyukai mereka, meskipun tak tahu apa pendapat mereka tentang aku. Tetapi itu tidak penting, karena toh setelah ini aku juga tidak akan bertemu mereka lagi."
"Aku senang kau menyukai keluargaku."
Lagi-lagi Jaap membukakan pintu untuk keduanya. Kali ini mereka langsung menuju ke ruang makan kecil dengan hidangan yang sudah tersaji lengkap di atas meja. Sepertinya Fraam memiliki koki pribadi di rumah, karena apa yang ada di atas meja adalah menu restoran bintang lima. Tak lebih tak kurang. Lucy tiba-tiba merasa perutnya sangat lapar. Apalagi Fraam bersikap cukup menyenangkan. Kali ini keduanya makan dengan lahap dan akrab.
"Memang menyenangkan memiliki tukang masak sekelas chef di rumah sepertimu, Fraam. Tetapi aku pasti tetap akan merindukan makanan sederhana seperti masakan ibuku," komentar Lucy.
"Menu seperti ini tidak selalu kudapatkan. Sering kali aku harus cukup puas dengan sandwich dan bergalon-galon kopi bila harus bekerja sampai pagi," jawab Fraam. Pria itu kemudian bercerita tentang kesibukan barunya sebagai direktur rumah sakit serta rencananya untuk hidup mapan. "Mapan dalam arti karir yang tetap di satu tempat, lengkap dengan istri," Fraam menandaskan.
"Memang sudah waktunya kan? Ibumu bilang begitu. Laki-laki lain seusiamu pasti sudah memiliki serombongan anak yang akan ribut menunggu ayahnya pulang bekerja," Lucy berkata asal.
"Apakah kau suka anak-anak, Lucy?"
"Suka. Andai aku punya kesempatan untuk menikah aku pasti tidak keberatan memiliki dua atau tiga anak. Empat pun tidak masalah. Aku dari keluarga besar. Tak bisa membayangkan keluarga tanpa anak-anak," Lucy mengangkat bahunya tak peduli dengan apa yang baru dia katakan. Kembali memusatkan perhatian pada piringnya. Gadis itu terlalu asyik dengan makanannya sehingga tatapan mata Fraam yang membara luput dari perhatiannya.
"Sadarkah kau Lucy bahwa ini pertama kali kita bisa berbicara berdua tanpa bertengkar? Kecuali peristiwa di Schipol saat kepulanganmu ke London beberapa waktu lalu ikut dihitung," kata Fraam.
Lucy mengangkat wajahnya memandang Fraam. Diingatkan kembali tentang peristiwa itu membuat wajahnya memanas. Fraam tertawa pelan melihat Lucy yang merona.
"Kau memang suka menggodaku," Lucy menggerutu.
Fraam tersenyum. Dan mengalihkan obrolan pada hal-hal yang lain. Setelahnya Fraam mengantar Lucy kembali ke kediaman Dr. De Groot.
"Aku dengan senang hati kau temani beberapa saat lagi. Tetapi pasti hal itu tindakan yang sangat egois karena waktu istirahatmu yang tak seberapa. Bisa kubayangkan betapa menyebalkannya Derek di malam hari. Jadi lebih baik kuantar kau, agar kau bisa beristirahat sejenak," kata Fraam begitu berhenti di depan kediaman pasien Lucy.
Lucy mengangguk. Keduanya pun turun dan berjalan menuju rumah.
Alangkah terkejutnya dia melihat Jaan berada di sana. "Jaan, kau masih di sini?"
"Aku kembali lagi. Kupikir kau perlu teman makan malam. Tetapi sepertinya Fraam sudah menemanimu," jawab Jaan kalem. "Selamat malam, Fraam."
"Halo, Jaan. Tak kusangka kau kembali," Fraam membalas ucapan Jaan dengan santai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Run To You (Terbit)
RomanceOpen PO Novel E-book Ready di google Play Link e-book ==> Bit.ly/EbookRTY Oh My God! I'm dating a (significantly) older man!