13

5.7K 1.2K 166
                                    

"Sudah pasti aku ingin menemuimu, Lucy," kata pria itu sambil mendekat. "Apakah aku diizinkan masuk? Kau tahu sekarang bulan November dan sangat dingin."

Lucy membuka pintu lebih lebar. "Kita bisa menggunakan ruangan untuk menerima pengunjung di dalam," katanya.

Fraam berjalan mengikuti langkah Lucy memasuki sebuah ruangan yang cukup sempit. Ruangan itu sangat suram dengan perabot utama berupa sofa dari vinil berwarna biru norak. "Ruangan yang cukup kejam untuk membunuh semangat para pemuda yang akan mengencani kalian. Aku tak tahu berapa banyak pemuda patah hati setelah berada di sini."

"Saya tidak tahu, Profesor."

"Tidak tahu? Tidak pernah?"

"Satu-satunya yang pernah mengunjungi saya di sini hanyalah Great Aunt Edith tahun lalu." Lucy berdiri bersebarangan memandang ke arah Fraam yang tampak canggung berada di dalam ruangan jelek dan menggelikan ini. "Apakah ada berita penting untuk saya, Profesor?" tanyanya. "Yang membuat Anda harus menemui saya secara langsung? Saya bisa dihubungi dengan mudah melalui ponsel."

Fraam memandang gadis kurus yang memakai mantel kamar jelek dan sandal yang tak kalah konyolnya itu. Rambutnya yang sudah cukup panjang terlihat berantakan. Seolah tidak ditata dengan layak selama berhari-hari. Pria itu menelan ludah sebelum berkata, "Temani aku makan malam."

"Eh?"

"Cepatlah ganti pakaianmu, Lucy. Kuberi waktu sepuluh menit dan kuharap itu cukup. Tak perlu berdandan berlebihan. Kita hanya akan makan malam."

Lucy membelalakkan matanya dengan sebal. "Tahu tidak, Prof, Anda keterlaluan sekali! Kalau Anda tidak mau menunggu saya, buat apa Anda repot-repot datang kemari? Luar biasa sekali sikap Anda ini dalam mengacaukan suasana hati saya!" semprot Lucy, dan dengan marah gadis itu berbalik hendak pergi.

Namun Fraam dengan sigap menangkap lengan Lucy. "Maaf bila aku kasar."

Lucy menatap mata Fraam. "Profesor, bila Anda memang begitu tidak suka dengan saya, buat apa Anda datang?"

"Lucy, sekali lagi aku minta maaf. Aku tak sengaja bertingkah kasar, oke?" Fraam memandang Lucy, tiba-tibanya matanya tampak lembut. "Sekarang jadilah gadis yang manis, ganti bajumu dengan apapun itu. Kutraktir kau makan malam yang layak," bujuknya. "Aku akan menunggumu, tak peduli berapa lama kau membutuhkan waktu untuk berdandan."

Lucy memicingkan mata. "Berdandan untuk Anda, Profesor? Hanya dalam mimpi!" katanya kasar sambil melangkah pergi.

Lima belas menit kemudian gadis telah kembali. Mengenakan skirt berpotongan A dari bahan wool halus berwarna moka dengan panjang melewati lutut. Sebagai atasan dia memilih jacket panjang tanpa kancing, menutupi sweter turtle neck tebal yang dipakainya. Karena cuaca cukup dingin Lucy mengenakan sepatu boots selutut yang nyaman.

"Nah, Profesor, sekarang Anda tinggal mencari restoran yang sesuai dengan penampilan saya," katanya sambil melangkah tak peduli menuju pintu.

Fraam tertawa pelan. "Kau cukup manis. Di cuaca begini aku tak mengharapkan pendampingku mengenakan busana yang tak masuk akal, yang hanya membuatnya berisiko terkena pneumonia," sahutnya ringan menanggapi sarkasme Lucy dan berjalan menjajari gadis itu. Fraam berusaha menggandeng tangan Lucy, tetapi ditanggapi dengan penolakan gadis itu.

Lucy duduk dengan nyaman di jok yang hangat saat Fraam menyetir dengan tenang di antara padatnya lalu lintas London petang hari. Fraam harus mengerahkan segala usahanya agar Lucy mau menanggapi obrolannya. Dan bersyukur setelah beberapa menit akhirnya mereka bisa berbincang santai tentang ini dan itu, santai diiringi musik instrumentalia lembut yang mengalun dari perangkat stereo mobil.

Run To You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang