22

5.4K 1K 44
                                    

"Kau tahu, Fraam, bahwa aku sudah mulai mengenal aromamu?" tanya Lucy setelah beberapa saat. Gadis itu membenamkan wajahnya di dada Fraam dan menghirup aromanya dalam-dalam.

"Kuharap kau menyukainya," balas Fraam.

"Ehm ...."

"Ada apa, Lucy?" Fraam menundukkan kepala agar bisa memandang wajah Lucy.

"Aku bukannya ingin menjatuhkan egomu. Kuakui, aku menyukai pilihan parfummu. Tetapi saat ini ada hal lain yang lebih mendesak. Sarapan," kata Lucy terus terang.

"Apa?"

"Sarapan, Fraam. S-A-R-A-P-A-N."

"Ya Tuhan!"

"Aku kelaparan. Ketegangan sejak kemarin membuatku tidak sanggup untuk menelan apapun sejak tadi."

Akhirnya Fraam menjadi rileks dan tertawa. "Kau pikir aku bisa sarapan tadi?" tanyanya. "Aku khawatir bila sedikit saja aku terlambat menjemputmu, kau sudah kabur ke bandara."

"Jangan bilang kalau kau menungguku jauh sebelum waktu yang kau janjikan," Lucy mengerutkan dahi sambil memandang pria itu.

"Aku berjanji untuk menjemputmu pukul tujuh pagi. Tetapi aku sudah berada di depan gedung tempat tinggal Derek satu jam sebelumnya."

Lucy tertegun, hingga tidak bisa segera membalas dengan komentar yang pas. Akhirnya dia berkata, "Terima kasih. Sikapmu benar-benar membuatku sangat tersanjung."

"Dan sekarang, kita berdua layak mendapat sarapan yang enak."

"Dan banyak," kata Lucy. Kepada Fraam yang menyeringai, gadis itu membela diri, "Aku gadis pekerja keras yang membutuhkan banyak energi, tahu?"

"Aku mengerti, Sayang. Dan kupikir aku cukup mampu untuk memberimu sarapan yang layak. Aku juga memastikan akan bekerja keras agar kau bisa makan cukup."

Fraam mencium Lucy sekali lagi, kemudian membawa gadis itu keluar dari ruang studi. Mereka menuju ke tempat sarapan untuk mereka telah disiapkan. Lucy hampir menangis melihat menu ala Inggris yang dihidangkan oleh staf rumah tangga Fraam. Bacon, kacang panggang, telur, roti, serta tomat yang membuat air liurnya menetes.

"Aku tidak sadar betapa aku merindukan semua makanan ini," katanya dengan puas.

"Jangan lupa tehmu, Sayang. Kalian orang-orang Inggris tidak akan bisa hidup tanpa seteko teh dan susu yang kental," Fraam tersenyum.

Lucy sudah terbiasa melihat bagaimana Fraam makan, sehingga tidak lagi terheran-heran dengan porsinya yang besar.

"Jam berapa kau bekerja?" tanyanya ringan.

"Aargghh...," Fraam mengeluh kesal. "Aku sedang ingin bersamamu. Jangan ingatkan aku pada pekerjaan!"

Lucy akhirnya bisa tertawa, melihat wajah Fraam ternyata bisa juga terlihat jenaka. Gadis itu menghitung sisa harinya di Amsterdam. "Aku harus kembali aktif hari Selasa pagi. Jadi aku berencana pulang Minggu petang," katanya kepada Fraam.

"Dan sekarang baru hari Rabu pagi. Kuharap kau tidak bosan menemani si tua Fraam sampai hari kepulanganmu," komentar pria itu.

"Tentu tidak. Banyak tempat yang ingin kukunjungi. Jadi ketika kau sedang bekerja, aku akan bersenang-senang keliling kota. Boleh kan, kalau aku memakai sepeda milikmu?"

"Lucy, aku bisa mengambil hari libur untuk menemani..."

"Tidak usah," Lucy melambaikan tangan, menahan perkataan Fraam. "Beraktivitaslah seperti biasa. Aku akan menunggumu di rumah sampai kau pulang," kata Lucy dengan manis. "Pasti aku bisa segera akrab dengan Bantje. Di rumah aku adalah kesayangan ibuku, karena aku suka merecokinya di dapur."

Run To You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang