14

6.2K 1.1K 131
                                    

Mrs. Prendergast mengamati pria yang sedang menatap putrinya yang sedang terlelap. Ketika Fraam memalingkan wajah, wanita itu tahu bahwa tatapan mata itu adalah milik pria yang sedang jatuh cinta.

"Apa yang Anda pikirkan itu tidak salah, Mrs. Prendergast," kata Fraam seolah memahami apa isi pikiran wanita paruh baya ini. "Saya memang jatuh cinta pada putri Anda."

"Apakah Lucy telah mengetahuinya?" tanya Mrs. Prendergast.

"Belum," Fraam menggeleng sambil menyeringai. "Karena dalam urusan asmara, putri Anda sangat buta seperti kelelawar di siang hari. Apalagi untuk saat ini saya bukanlah orang yang disukainya," Fraam tersenyum dengan masam.

"Sebagian besar karena salah saya sendiri. Putri Anda selalu bisa memicu munculnya sisi terburuk diri saya. Saya akui, saya sudah tidak muda lagi. Sudah lewat masanya bagi saya untuk tergila-gila pada perempuan. Namun putri Anda hadir bagai angin puting beliung yang memorak-porandakan kestabilan emosi saya. Belum pernah saya merasa ditelanjangi seperti ini. Membuat semua hal yang selama ini melekat pada diri saya, menjadi tak berharga di matanya.

"Putri Anda memiliki kemurnian hati yang mampu melihat sesuatu bukan hanya sebatas permukaan. Dia bisa mengesampingkan apa yang tidak perlu dan menembus langsung ke intinya. Popularitas saya di lingkungan sosial tidak membuatnya tertarik. Dia melihat saya sebagai pribadi arogan yang tidak menyenangkan."

Mrs. Prendergast tertawa pelan. "Itulah Lucy kami."

"Tapi saya akan menunggu hingga Lucy bisa memahami bagaimana perasaan saya padanya. Saya sangat serius, Mrs. Prendergast."

"Apakah kata-kata Anda bisa dipercaya, Profesor?" tanya Mrs. Prendergast dengan nada menyelidiku demi melindungi putra-putrinya.

"Anda bisa pegang kata-kata saya. Dan Mrs. Prendergast, tolong panggil saya Fraam. Bisa jadi nanti sayalah yang akan menjadi menantu Anda. Saya pastikan saya akan berusaha untuk itu."

***

Lucy terbangun pukul enam pagi. Suasana di luar masih agak gelap. Rumah juga masih terasa sangat sunyi. Orangtuanya baru akan bangun pukul tujuh nanti. Namun karena merasa tidak mungkin tidur lagi, gadis itu menyambar jubah kamar, memakai sandal, dan berjalan pelan keluar kamar. Dengan tetap mengendap-endap agar tidak mengganggu penghuni lain, dia menuju dapur. Dalam pikirannya, secangkir kopi pasti akan nikmat sekali dalam cuaca seperti ini.

Lucy terkejut mendapati lampu dapur terang benderang. Dan dilihatnya Fraam telah duduk di meja makan sederhana itu menghadap sepoci kopi yang beraroma harum dan panas mengepul. Lucy menghentikan langkahnya.

"Profesor..."

"Kemarilah, Lucy," undang Fraam. "Dan panggil aku Fraam."

Lucy berjalan mendekat. Pagi ini Fraam juga masih mengenakan jubah kamar tebal warna burgundy. Begitu gadis itu telah duduk duduk, Fraam bangkit mengambil cangkir tambahan dan menuangkan kopi untuknya.

"Aku tahu kau pasti heran kenapa aku berada di sini."

"Hm ...," Lucy bergumam sambil meneguk cairan pekat yang mengalirkan kehangatan di tenggorokannya.

"Kuakui pertemuan terakhir kita memang sangat buruk dan aku telah bertingkah seperti bajingan. Maafkan aku, Lucy."

"Terlalu berlebihan untuk menempuh perjalanan dari Amsterdaam ke sini, dalam cuaca seburuk ini, hanya untuk minta maaf," kata gadis itu datar.

Fraam tersenyum. "Tujuanku ke sini bukan hanya untuk minta maaf. Karena aku memiliki satu permintaan yang sangat serius padamu."

"Eh?" karena terkejut, dan hampir saja dia tersedak oleh kopinya. Lucy terbatuk-batuk heboh. Dengan sigap Fraam bangkit dan mengambilkan segelas air untuknya.

Run To You (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang