Lucy terbangun setelah tertidur selama satu jam. Paling tidak jam di dinding memberitahukan demikian.
"Ah, rupanya kau sudah terbangun, Sayang," seorang perawat senior telah berada di sebelahnya. "Profesor dari Belanda itu tadi memintaku untuk menunggumu terbangun. Baik hati sekali dia, mau memeriksamu sendiri. Kau tahu berapa tarif seorang konsultan internasional seperti dia untuk satu kali periksa?" tanyanya sambil membantu Lucy duduk.
"Ya, Suster. Pasti sangat mahal," sahut Lucy patuh.
"Kau mengalami lebam dan goresan punggung yang cukup parah. Namun tidak ada tulang patah. Profesor sendiri bilang bahwa kau memiliki gerak refleks yang bagus sehingga mengurangi risiko luka. Dia berada di sana saat kejadian."
"Kenapa Profesor der Linssen merasa perlu untuk memeriksa saya, Suster? Kan cukup dokter praktek? Saya lihat Dokter Smithson sedang bertugas."
"Dia sedang berada di sini. Dan karena dia melihat langsung semuanya, jadi wajar bila dia merasa itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Nah Sayang, sebentar lagi seseorang akan membawakanmu kursi roda dan mengantarmu ke asrama. Di sana pengurus asrama akan membantumu untuk mandi air hangat dan semua keperluanmu yang lain. Ku harap kau beristirahat. Profesor der Linssen telah menuliskan catatan untuk Kepala Ruang tempatmu berdinas agar memberimu waktu istirahat selama minimal lima hari hingga luka-lukamu sembuh."
"Lalu anak laki-laki itu?"
"Dia baik-baik saja, Sayang. Dan sudah pulang bersama ibunya. Tadi ibunya kesini untuk mengucapkan terimakasih. Karena kau sedang tidur dia berjanji akan kembali besok. Nah, Sayang, orang yang akan membantumu sudah tiba. Lebih baik kita segera bersiap."
Hari berikutnya Lucy merasa seperti selebriti. Teman-temannya bergantian datang, baik membawakannya berbagai makanan maupun untuk sekadar bergossip. Bahkan Kepala Perawat juga datang mengunjunginya. Perempuan itu berbasa-basi menyanjungnya atas tindakan heroik yang telah dia lakukan. Membuat wajah Lucy merah padam, malu sekaligus risih.
Sepanjang hidup Lucy tak pernah menerima begitu banyak perhatian dan pujian seperti ini. Bahkan pada petang itu jantungnya serasa berhenti berdetak ketika Sir Wyatt datang mengunjunginya. Lucy yang tidak pernah berada sedekat ini dengan orang nomor satu di St. Norbert, merasa grogi dan menjawab pertanyaan direktur tersebut dengan terbata-bata. Ini pasti karena yang menolongnya kemarin adalah profesor Belanda itu. Membuat orang-orang ini merasa perlu mengimbangi dengan memberi perhatian yang sama. Andai saja mereka tahu ...
Namun semua kehebohan itu belum seberapa dibandingkan apa yang terjadi keesokan harinya. Ketika seorang perawat membawakan sesuatu yang luar biasa mencolok mata untuk Lucy. Rangkaian bunga yang dihiasi dengan pita-pita cantik, sekotak besar coklat mahal, sekaleng kopi, dan sekotak teh yang semuanya dari Fortnum Mason. Juga voucher dari sebuah pusat perawatan tubuh, serta novel-novel roman yang pasti akan disukai oleh gadis-gadis seusianya.
"Nah. Miss, entah kebaikan apa yang telah kau lakukan, sehinggan dihargai seperti ini," canda Suster Edgar si pembawa bingkisan.
"Ini norak dan berlebihan," keluh Lucy.
Namun perawat berwajah lembut itu hanya tertawa melihat di rambut wortel yang merajuk kesal. Teman-teman Lucy yang menyerbu masuk ke kamar gadis itu karena penasaran, berteriak histeris melihat apa yang diterima rekannya. Mereka semakin heboh ketika melihat nama si pengirim dari selembar kartu yang terselip di antara rangkaian bunga.
Lucy membaca dengan enggan tulisan berantakan pada sehelai kartu tersebut. Kartu dari kertas berwarna hijau dan terlihat mahal.
Untuk Miss Prendergast, semoga lekas sembuh.
Fraam der Linssen
Tulisan tangannya luar biasa kacau, seolah dia mencelup seekor laba-laba ke dalam tinta dan menyuruhnya berjalan di atas kertas, omel Lucy dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Run To You (Terbit)
RomanceOpen PO Novel E-book Ready di google Play Link e-book ==> Bit.ly/EbookRTY Oh My God! I'm dating a (significantly) older man!