Kalo aku lg niat, memang gini^^jangan lupa tinggalkan vote dan komen!
semoga suka!
***
Ternyata perkataan Krystal terkesan cukup ampuh, karena setelahnya William jadi sedikit agak tenang. Beberapa menit setelah kejadian itu, lampu kembali menyala. Membuat William cepat-cepat melepaskan pelukannya dan memalingkan wajah ke tempat lain, seolah dia malu dengan apa yang ia perbuat.
"Maaf," gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti orang yang habis menangis. "Kau bisa pergi sekarang, aku tidak apa-apa."
"Tidak." Krystal menggelengkan kepala, jawaban yang membuat William mendongak. "Aku ingin tetap di sini."
"Kau ...." William menggantungkan perkataannya, sekarang Krystal baru menyadari kalau bibir lelaki itu sepucat tisu. Putih sekali. "Tidak takut ... aku apa-apakan?"
"Aku bisa mematahkan lehermu kalau kau mencobanya, Mr. Aendrov," gurau Krystal. "Lagipula, seperti katamu, aku bertugas menjaga. Aku akan tetap di sini, setidaknya sampai hujan berhenti."
William tidak berkata apa-apa lagi setelah itu, dia berbaring dan menutupi badannya dengan selimut polos berwarna hitam. Krystal mengedarkan pandangan, kamar ini tidak bisa dibilang besar, malah kecil. Hanya ada sebuah ranjang, meja, dan rak buku yang memenuhi ruangan.
"Kau suka membaca?" tanya Krystal pelan, dia tahu William tidak berniat untuk tidur. Lelaki itu hanya berbaring dengan mata yang terbuka, memandangi langit-langit yang kosong.
"Ya. Aku suka," katanya, nada suaranya sudah stabil. Ia memutar musik dari ponselnya pelan, membuat Krystal nyaris menggerakan tubuh karena mengikuti irama. "Kau tahu, mungkin kau akan sering mendapati aku ... yang seperti ini ...."
"Maksudmu, kau selalu begini setiap kali ada petir?" Krystal yang tadinya hendak berjalan ke rak buku membalikan tubuh, menatap William yang masih bergeming di tempat. Dia masih memandang langit-langit. "Sendirian?"
"Aku selalu berusaha meredamnya dengan musik, tetapi aku tahu kalau semua itu tak berguna. Pada akhirnya, aku selalu ketakutan. Sendirian. Selalu begitu." William berkata, nada suaranya terdengar sedih. "Sudah bertahun-tahun aku mengalami ini, sedikit pun rasa takut itu tak hilang, meski aku berobat sekalipun. Tak ada perubahan."
Krystal termenung. Dia punya ketakutan, tentu saja, manusia mana yang tidak? Tetapi ketakutannya ada pada ketinggian, dan Krystal bisa menghindari hal itu. Kasus yang jelas berbeda dengan milik William.
"Aku akan berada di sampingmu setiap kali petir datang." Krystal tiba-tiba menyuarakan hal itu, entah dari mana kata-kata tersebut datang. "Aku akan datang padamu setiap kali hujan turun."
William menaikkan alisnya sebelah, suara petir masih terdengar nyata membuatnya mencengkram sprei kuat-kuat, tetapi harus ia akui, kehadiran Krystal di sini sedikit mengurangi ketakutannya. Ia merasa lebih baik ketika diajak ngobrol, dibanding dengan meringkuk sendirian sambil menghapal perkalian untuk mengalihkan perhatian.
"Aku akan mengingat hal itu." William bersungguh-sungguh ketika mengatakannya.
Krystal mengangguk, lalu mendekati William. Dia berdiri tepat di samping ranjang William, membuat lelaki itu memandanginya dari bawah. "Kau ... apa tubuhmu lemas?"
"Tidak terlalu," jawab William jujur. Dia tadi memang benar-benar ketakutan. Perasaan yang sama yang selalu menyerangnya. Namun, ketika memeluk Krystal semua rasa itu menguap digantikan dengan sesuatu yang terasa hangat. Ia merasa jauh lebih baik ketika gadis itu ada di sini. Hal yang aneh, mengingat mereka baru kenal hari ini.
Mungkin, semua ini terjadi karena Krystal pada nyatanya memiliki kepribadian yang hangat, gadis itu tidak sedingin perkiraan William saat pembicaraan pertama mereka tadi.
"Mau berdansa denganku?"
Permintaan itu terkesan tiba-tiba dan tak berdasar, membuat William mengerutkan keningnya.
"Aku tidak bisa berdansa," gumamnya pelan. Well¸dia jujur. Selama ini William tidak pernah menyukai siapa pun sebelum Margo, dan saat mengejar wanita itu dia lebih banyak merasa tersakiti daripada bahagia. Dia mana punya kesempatan untuk belajar hal-hal kecil seperti dansa.
"Aku bisa mengajarimu." Krystal tampak sungguh-sungguh di sana. Tingkahnya ini membuat William merasa aneh. Entah gadis ini kasihan atau ingin menghiburnya, William sendiri tak yakin. "Aku adalah pedansa yang hebat, well, setidaknya itu pendapatku."
William bangkit dari posisi tidurnya kala ia mendapati suara petir lagi dan langsung mencengkram tangan Krystal refleks. Setelahnya, lelaki itu meminta maaf pelan yang dibalas dengan senyum simpul oleh si wanita.
"Kalau kita berdansa, kau bisa memelukku ketika kau takut ...." Krystal mulai bingung dengan perkataannya. Demi Tuhan, dia hanya berniat menghibur William dan mengalihkan perhatiannya dari petir supaya ia tidak takut lagi. Setelah melihat bagaimana lelaki itu meringkuk dengan tubuh yang bergetar, rasanya Krystal jadi iba. Namun, kenapa ucapannya terdengar seperti ia sedang modus?
"Kau mau memelukku?" Pertanyaan William itu membuat pipi Krystal memerah. Benar, kan, ucapannya terdengar seperti gadis mesum yang sedang cari kesempatan.
"Yah ... tidak dalam konteks memeluk seperti itu, tapi ...." Krystal menggaruk lehernya bingung. Gadis itu bahkan masih memakai gaun yang sama dengan yang ia pakai di pesta tadi, untungnya bahan pakaian ini terasa nyaman jadi tidak menganggu. "Maksudku ... saat kau takut saja. Aku akan mematahkan lehermu kalau kau mengambil kesempatan."
"Terkadang aku lupa kalau kau bekerja padaku," kata William jujur saat ia mendengar ucapan Krystal. "Karena rasanya kau ada di sini hanya untuk menemaniku ... yah, terasa seperti pegawai rasa pacar, mungkin?"
Krystal tersenyum. Dia sama sekali tidak keberatan, William nyatanya tidak seburuk yang ia pikirkan. Mungkin, karena lelaki itu terasa hangat dan lembut. Tipikal yang sangat berbeda dari kakak Krystal yang tidak pedulian. Sejak dulu, ia selalu berharap kakaknya akan berubah. Namun, segalanya harus pupus kala ia sadar, semua itu tidak mungkin.
Ada secercah harapan kecil yang kembali tumbuh meski sebelumnya sempat mati kala Kevin menyuruh Krystal melakukan pekerjaan ini. Gadis itu begitu mengagumi kakaknya bahkan melebihi kesayangan pada dirinya sendiri.
"Jadi ... kau tidak mau berdansa?" tanya Krystal lagi saat William tidak bergerak. "Kalau tidak mau, aku akan kembali ke rak buku itu dan mencari bacaan bagus untuk menemaniku."
"Berdansa terdengar agak meragukan, apalagi aku tidak bisa melakukannya. Kau ... tidak meyakinkan." William berkata jujur. "Dan by the way, apa kau tidak mau mandi? Kau betah memakai baju itu?"
Krystal melirik ke arah bajunya dan menghela napas. "Aku tidak punya baju ganti. Asal kau tahu, Mr. Aendrov. Eh, maksudku, Will. Ada seseorang yang menyeretku ke sini tiba-tiba, setelah pemberitahuan mendadaknya soal aku akan tinggal bersama dengannya. Aku bahkan tidak membawa apa pun."
"Kau menyindirku?" William menatap lurus ke arah Krystal, mata abunya itu indah sekali.
"Mungkin?" Krystal mengendikkan bahu. "Aku berencana untuk pulang tadi, setelah kita berbelanja. Namun, sepertinya kedua rencana itu tidak bisa terealiasasikan, bukan?"
"Kau mau ganti baju?"Mengabaikan perkataan Krystal, William justru melempar pertanyaan lain.
"Memangnya kau punya baju wani—?"
Suara petir yang kembali terdengar kali ini membuat Krystal menghentikan ucapannya dan langsung terduduk di atas ranjang sambil mencengkram lengan William erat. Sentuhan itu membuat si lelaki bahkan lebih terkejut.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa." Krystal bergumam menenangkan di saat William bahkan tidak setakut tadi. "Aku tidak mau melihatmu bergetar seperti tadi, jadi lebih baik kutenangkan sebelum terjadi," katanya saat sadar kalau William terpaku di tempat karena tingkah Krystal.
"Nah, kembali ke pertanyaan. Memangnya, kau punya baju?" tanya Krystal melanjutkan.
William menggeleng, lalu berkata dengan ragu, "Kau bisa pakai kemejaku. Kalau ... kau tidak keberatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIS PROTECTOR
Romance[Follow dulu untuk kenyamanan bersama, sudah selesai🙏] Book I, His Protector Book II, Her Savior Dihapus sebagian demi kepentingan penerbitan. Diwajibkan baca HIS PROTECTOR dulu sebelum baca Her Savior! -•-• William Aendrov & Krystalie Belle BLURB...