His Protector - 8

8.2K 645 10
                                    

Aku sedang dalam mood nyelesain cerita ini, dan btw kayaknya aku udh kelamaan gak apdet, sampe kalian lupa kalo Will takut petir wkwkkwkw.

jangan lupa tinggalkan jejak~





***

William sudah selesai memasak saat Krystal sedang berkeliling dan memeriksa apartmennya. Tidak banyak barang di sini, hanya ada beberapa furniture umum, dan juga foto keluarga. Lelaki itu juga mengkoleksi patung-patung mini superhero yang tersusun dengan rapi.

"Nah, aku minta maaf kalau lama." William tersenyum dan meletakkan panci berisi mie itu di atas meja yang telah dialasi. Lalu, ia menghidupkan TV dan memutar serial kartun.

Krystal berjalan pelan dan duduk di lantai, bersamaan dengan William. Hal itu membuat Krystal mengerutkan dahi. "Kau tidak duduk di sofa?"

"Kenapa aku harus duduk di sofa saat kau duduk di lantai?" William bertanya balik dan membuka tutup panci, membuat asap mengepul dari sana. "Terlihat enak. Omong-omong, hujan sudah berhenti?"

"Belum. Malah semakin deras," ucap Krystal jujur, tadi ia mengintip lewat jendela. Lelaki itu baru saja mematikan suara musik yang sedaritadi memenuhi ruangan, dan sekarang kebisingan itu digantikan oleh audio TV. "Memangnya kenapa? Kau tidak suka hujan?" tanya Krystal yang sedaritadi penasaran.

"Tidak. Aku bukannya tidak suka hujan." William mengambil mie itu dengan sumpit dan menyodorkannya ke arah Krystal, membuatnya tersenyum tipis sambil mengumamkan kata terima kasih. "Aku benci petir."

"Kau takut petir, Mr. Aendrov?" Krystal mengulangi dengan mulut yang penuh dengan mi.

"Panggil aku Will. Tidak perlu pakai embel-embel mister." William mengangguk dan ikut menyeruput mie yang sudah ia pisahkan ke mangkoknya sendiri. "Itu berhubungan dengan trauma masa kecil, dan btw rasanya sudah lama aku tidak mengobrol dengan teman."

"Kita berteman? Sejak kapan?" tanya Krystal bingung. Ia memang merasa sudah akrab dengan William setelah pesta tadi, tetapi demi Tuhan mereka baru saja mengenal. Ini bahkan belum 24 jam sejak pertemuan pertama keduanya.

"Jadi? Kita pacaran?" tanya William balik sambil terkekeh. "Aku tidak keberatan kalau kau menganggapnya begitu."

"Bukankah kita memang pacaran?" Pertanyaan Krystal nyaris membuat William tersedak karena mi. Lelaki itu terbatuk-batuk di tempat, membuat Krystal dengan cepat menyodorkan air mineral ke arahnya. "Kenapa kau terkejut? Bukankah kau yang memintaku untuk menjadi pacar bohongan?"

"Uhuk uhuk, iya, kata siapa aku terkejut?" William membalas sembari menepuk-nepuk dadanya pelan. "Aku hanya terlalu cepat mengunyah, jadi tersedak."

Krystal mengulum senyumnya, lalu bertanya, "Dan omong-omong, kalau aku ... boleh bertanya ... apa wanita yang kita temui di pesta tadi adalah wanita yang kau sukai?"

Pertanyaan itu membuat William berhenti bergerak. Bahkan, mematung di tempat. Sadar kalau dia sedaritadi terus melemparkan hal-hal yang bersifat pribadi dan tidak seharusnya ditanyakan, gadis itu langsung menutup mulut dan meminta maaf. "Lupakan, lupakan. Terkadang mulutku tidak bisa dikontrol."

Memang benar adanya, setiap kali Krystal merasa dia sudah akrab dengan seseorang maka dia akan banyak bicara. Sebaliknya, ia pendiam bila bersama orang asing.

William mengangguk pelan, mengabaikan perkataan Krystal yang terakhir. "Kau benar, aku pernah menyukainya."

Pernah menyukai? Apa itu berarti sekarang tidak lagi? Batin Krystal bertanya-tanya.

"Dia pernah mengubah hidupku. Kalau kau pernah bertemu denganku ... sebelum ini, maka kau akan menemukan sosok aku yang dingin dan tak tersentuh. Kau tahu, rasa sakit memang bisa mengubah seseorang, begitupula dengan cinta." William tersenyum, lagi, tetapi kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya membuat Krystal merasa bersalah. Seharusnya dia tidak membahas ini lagi.

"Dan sekarang aku tidak bisa menyukainya lagi karena dia sudah menemukan kebahagiaannya sendiri. Daniel, sahabatku." William melanjutkan.

Setelahnya, mereka berdua makan dengan damai karena Krystal tak lagi mengajukan pertanyaan, dan William tak membuka topik apa pun untuk mengisi ruang hening di antara mereka. Tempat itu sunyi, hanya ada suara TV yang memenuhi apartmen.

Krystal merasa tercekik. Ternyata, kehidupan cinta memang rumit.

Beruntung, dia tidak pernah jatuh cinta.

Hal itu membuatnya semakin yakin untuk tidak memberikan hatinya pada siapa pun.

***

Mereka sudah selesai makan saat jam menunjuk pukul enam sore. William tadi masuk ke dalam kamar setelah mengisi perut, sedangkan Krystal mencuci piring. TV sudah mati, dan hujan semakin deras. Ia bisa mendengar suara musik yang terputar dari kamar William, sangat besar.

Lelaki itu takut pada petir ternyata, pantas saja dia terus-terussan membahas hujan.

Krystal baru mengingat kalau dia tidak punya baju untuk dipakai malam ini karena semuanya masih ada di apartment miliknya dan Mia. Dia tidak siap pindah, karena itu rencananya dia akan segera pulang setelah menemani William belanja dan akan kembali ke sini esok.

Setidaknya begitu, sampai suara petir yang sangat, sangat besar mengagetkan gadis itu yang sedang melamun. Ia terkejut! Ia berlari menuju jendela dan mengintip kala ia menemukan hujan di luar sangat besar, diiringi dengan petir yang bersahut-sahutan dan angin kencang.

Beberapa detik kemudian, setelah Krystal mengintip, listrik apartment William padam. Langit yang memang menggelap daritadi dan pencahayaan yang sama sekali tidak ada membuat Krystal tersandung beberapa kali kala ia berusaha kembali ke ruang tengah untuk mengambil ponselnya.

Setelah berhasil, gadis itu segera menyalakan lampu flash dan menatap pintu kamar William ketika ia menyadari tak ada lagi musik yang terputar. Lelaki itu menghidupkan musik dari radio, bukan dari ponsel?

Saat Krystal berkutat di dalam pikirannya sendiri, suara petir kembali terdengar. Keras sekali, bahkan ia merasa lantai ini bergetar karenanya. Krystal mengigit bibirnya pelan dengan pikiran yang ragu. Haruskah dia masuk dan mengecek keadaan William di dalam sana?

Tetapi masuk ke dalam kamar lelaki itu tanpa izin ... terdengar tidak etis. Apalagi setelah mengingat kalau hari ini Krystal terus-terussan bersikap tak sopan pada atasannya.

Kalau dia pingsan karena takut bagaimana? batin Krystal menyuarakan kemungkinan yang ada.

"Benar juga," gumam Krystal pada dirinya sendiri. William sepertinya sangat takut akan petir kala ia terus-terussan membahas soal hujan selama di mobil tadi, sekarang lampu dalam kondisi mati dan sama sekali tak ada penerangan di saat lelaki itu sendiri di dalam sana. Bagaimana kalau dia pingsan di tempat?

"Ini terakhir kalinya kau melakukan sesuatu yang tidak etis, Krystal." Krystal mengumamkan kalimat untuk dirinya sendiri, sebelum berjalan dengan hati-hati ke kamar William bersama lampu flash dari ponselnya. Sejenak, keraguan kembali menguasai Krystal kala ia sudah berdiri di depan pintu. Namun, hal itu hanya berlangsung sesaat.

Krystal membuka pintu kamar William dan tidak bisa melihat apa-apa sampai ia mengarahkan flash ke arah ranjang, menemukan seseorang sedang meringkuk di sana dengan tubuh yang bergetar sembari mengumamkan sesuatu yang tak jelas. Jantung Krystal berdebar dua kali lebih kencang kala mendapati lelaki itu sedang dalam kondisi terlemahnya, sesuatu yang sangat berbeda dari sebelum ini.

"Will ...." Krystal memanggilnya dengan ragu, lalu gadis itu mengulurkan tangannya takut-takut. Belum sempat ia menyentuh William, tarikan pada tubuhnya membuat Krystal nyaris menjerit.

Namun, sebelum ia melakukan hal itu, sensasi hangat yang menyelubungi tubuhnya membuat gadis itu terpaku. Badan William sungguh-sungguh bergetar, menandakan bahwa dia tidak main-main. Ia tidak sedang bercanda.

"Tidak apa-apa ... kau tidak apa-apa." Entah kenapa Krystal mengucapkan hal itu sampai menepuk-nepuk punggung William pelan, ia sama sekali tidak risi dipeluk seperti ini-meski kali ini adalah kali pertamanya dipeluk oleh seorang lelaki yang bukan keluarganya. "Semuanya akan baik-baik saja, Will. Aku di sini. Selama ada aku, kupastikan kau akan aman."

Krystal memperlambat tepukannya pada pundak William, sebelum melanjutkan. "Aku berjanji akan menjagamu, dari apa pun itu. Termasuk petir."

HIS PROTECTOR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang