His Protector - 7

8.7K 672 7
                                    

Boleh minta vote dan komennya supaya authornya semangat up?

Jangan lupa follow akunku.

aku mau coba rajin nulis cerita ini juga, doain.

***

Ketika William menyebut kata "rumah" yang Krystal pikirkan adalah istana luas dengan banyak mobil yang terparkir, ratusan maids, juga puluhan penjaga. Well, tentu saja hal itu hanya ada di dalam bayangannya, karena nyatanya lelaki itu malah membawa ia ke sebuah apartmen cukup mewah, tetapi tidak bisa digambarkan terlalu megah untuk seseorang seperti William.

Yah, sedikit membingungkan, karena biasanya ketika orang sudah memiliki uang yang berlimpah otomatis mereka akan membangun rumah yang mewah—seperti yang orang tua Krystal lakukan, dan saking luasnya tempat tinggal mereka dulu, rasanya ia tercekik karena tempat itu terlalu sepi untuk ditempati oleh manusia-manusia yang bahkan jarang pulang ke rumah.

Karena hal itu pula, Krystal pada akhirnya memilih untuk bergabung dengan Mia ke dalam apartmen kecilnya. Meski pada awalnya tak terbiasa, tetapi ia pada akhirnya bisa beradaptasi dengan baik. Bahkan, Krystal merasa jauh lebih hidup ketika berada di ruangan kecil itu dibanding dengan di istana luas yang bahkan tidak pernah terasa seperti rumah.

"Sepertinya hujan sebentar lagi turun." William membahas hujan lagi, langit memang mendung sedaritadi, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan segera menumpahkan cairan. Saat ini, mereka sedang berada di basement, William sudah selesai memarkirkan mobil, sedangkan Krystal merasa canggung kala membayangkan ia akan tinggal berdua dengan lelaki asing.

"Kau tidak mau turun?" tanyanya kala melihat Krystal masih terbenggong di tempat, entah sejak kapan lelaki itu turun dari mobil. "Aku mau segera naik sebelum hujan turun."

"Okay." Hanya itu yang bisa Krystal ucapkan, karena setelahnya ia cepat-cepat turun dan mengikuti langkah William. Lelaki itu terus membahas hujan, ia ingin cepat-cepat naik katanya. Memangnya kenapa? Mereka kan tidak mungkin basah.

Apa dia punya ketakutan pada hujan?

Atau, dia benci hujan?

Krystal penasaran, tetapi dia tidak bertanya sama sekali. Suasana di antara mereka begitu canggung, bahkan sampai lift terbuka. Lantai tujuh belas, cukup tinggi ternyata.

William keluar terlebih dahulu, disusul oleh Krystal. Lelaki itu dengan santai menekan sandi di depan pintu apartmentnya, seolah tak peduli kalau Krystal melihat sekalipun.

Tak butuh waktu lama, pintu terbuka. Krystal merasa semakin kikkuk kala menyadari ruangan itu gelap gulita, padahal hari masih siang. William masuk terlebih dahulu dan meraba-raba dinding, mencari letak saklar lampu dan menghidupkannya.

Krystal sempat berpikir kalau William adalah pribadi yang berantakan di dalam dan rapi di luar—seperti pria pada umumnya—tetapi pemikirannya itu harus ditampik kuat-kuat kala ia mendapati apartment lelaki itu sangat, sangat, sangat bersih. Juga rapi.

"Selamat datang, apartmenku memang tidak besar, tetapi ini cukup." William tersenyum, lengkungan itu selalu tampak menawan. Sepertinya dia sudah sedikit melupakan kejadian di pesta tadi, terlihat dari sorot matanya yang tak sesedih sebelumnya. "Ada dua kamar, bersebelahan. Yang kanan milikku, yang kiri milikmu. Sudah dirapikan, dan ... asal kau tahu ... kita hanya berdua di sini."

Krystal tidak terkejut, dia sudah bisa menebak dari betapa sepinya rumah ini. Ia memang merasa canggung dan sejujurnya agak takut, tetapi ia bisa bela diri dan menyerang William kapan saja kalau lelaki itu macam-macam. Lagipula, sepertinya dia sama sekali tidak bisa berkelahi, mengingat menjaga saja Krystal yang melakukannya.

"Kau tidak tinggal bersama orang tuamu?" Pertanyaan itu lepas begitu saja dari mulut Kystal, membuat ia merutuki dirinya sendiri sedetik kemudian. "Maaf. Lupakan saja."

"Tidak. Aku tidak tinggal dengan mereka lagi setelah dewasa." William menanggapi dengan santai, sepertinya dia tidak keberatan ketika Krystal membahas soal orang tua, berarti dia tidak punya hubungan yang buruk dengan mereka. "Aku pernah memutuskan untuk hidup bebas, dengan membuka kafe sebelum aku bekerja di perusahaan seperti ini."

"Wow, kafe?" Krystal menatap tertarik. Akan tetapi, sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, suara perutnya yang keroncongan memenuhi ruangan. Membuat wajah Krystal seketika berubah menjadi merah dan panas. Dia malu sekali!!

"Kaulapar, ya?" William terkekeh. "Ah, aku lupa. Aku belum sempat belanja, apa kau tidak keberatan jika kita masak ramyeon?"

Krystal mengangguk, dia suka mie dan segala jenisnya. "Boleh."

"Baiklah. Aku masakkan. Aku bisa sedikit menggunakan ketrampilan dapur setelah belajar dengan Albert belasan tahun, anggap saja ini sambutan selamat datangku."

Setelah mengucapkannya, William segera berbalik dan meninggalkan Krystal. Namun, sebelum berjalan ke dapur, dia menghidupkan music tape dengan volume besar, terlalu besar malah, hingga membuat suara hujan yang mulai rintik-rintik di luar tak lagi terdengar, sama sekali.

Lagu Elvis Presley – Cant help falling in love with you terputar lembut, membuat Krystal hanyut ke dalam musik itu. Ia tidak mengerti alasan William memutar lagu sekencang ini, tetapi setidaknya ini terasa menyenangkan.

Krystal merasa ada sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya saat ia melupakan fakta bahwa ia menyelipkan sebuah pistol di sana. Geez, dia baru ingat, untung saja benda itu merekat dengan baik dan tak jatuh. Namun, posisinya agak dalam dan sulit diambil oleh Krystal, setidaknya butuh sedikit upaya untuk melakukannya.

William baru saja kembali dari dapur setelah menemukan kalau mi ramyeon hanya tersisa dua dan ia tidak punya nasi, ia ingin bertanya pada Krystal tentang apakah makanan ini cukup untuk mereka berdua karena sejujurnya William juga sedang lapar sampai ia menemukan pegawainya tengah duduk di atas sofa dengan salah satu tangannya sedang masuk ke dada. Seolah mencari sesuatu.

"Butuh bantuan?" tanya William saat melihat Krystal yang tampak kesulitan.

Suara musik yang besar tak urung membuat Krystal tetap terlonjak kala ia mendengar suara berat William. Gadis itu segera menarik lengannya bersamaan dengan keluarnya pistol itu. Ia membulatkan mata dan menggeleng. "Tidak, tidak. Terima kasih," ucap Krystal dengan wajah yang memerah seperti kepiting rebus.

Sedaritadi ia terus melakukan hal-hal yang memalukan, untungnya di sini hanya ada William. Yah, hanya William. Lelaki itu bosnya yang baru, dan syukurnya dia tidak memecat Krystal karena perilakunya yang agak aneh.

"Oh, aku ingin bertanya, apa kau keberatan kalau aku masak dua mie dan kita bagi dua?" Lelaki itu bersuara kala ia ingat apa tujuannya kembali ke ruang tengah.

"Aku tak masalah, tapi, apa kau tidak mau berbelanja?"

"Berbelanja? Sudah lama aku tidak melakukannya," gumam William pelan. Selama ini dia lebih sering makan makanan instan atau delivery dari restoran. Sebenarnya dia bisa masak, sedikit-sedikit, tetapi ia terlalu sibuk untuk melakukannya.

William berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, kita belanja malam ini. Kalau hujan ... sudah berhenti turun."





***

Instagram : blcklipzz

HIS PROTECTOR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang