"Bae…"
"Jawabannya tertera pada pesan yang pernah aku kirim padamu."
Kening Taehyung berdenyut sebagai respon. "…hanya karena kau ingin rencana kita semakin menarik?" gumamnya tak yakin.
Bahu Joohyun terangkat malas sebagai jawaban. Kini jemarinya memainkan lighter berukiran kepala naga yang tadi dipakainya untuk membakar foto-foto bukti perselingkuhan Seokjin dan Jisoo.
"Apa pendapatmu tentang dia?"
Taehyung tahu yang Joohyun maksud adalah Jisoo—orang tak diundang yang tiba-tiba masuk ke dalam rencananya mereka.
"Biasa saja, tidak ada yang spesial," jawab Taehyung seadanya.
"Tapi Seokjin kelihatan tergila-gila padanya. Menurutmu—kenapa?" Joohyun memainkan cincin pernikahan di jari manisnya. Cincin indah yang baru disematkan di jarinya tadi pagi.
"Apa karena aku menolak tidur sebelum menikah dan dia memilih sahabatku sebagai pelampiasannya?" tanyanya nanar. "Tapi pada akhirnya Seokjin tetap memilihku, bukan jalang seperti Jisoo," gumamnya lebih pada diriya sendiri.
Joohyun tahu benar jika Jisoo lah pihak yang menggoda Seokjin lebih dulu. Si pengkhianat itu—begini cara Joohyun menyebutnya—terus menerus memohon agar Seokjin tetap disampingnya. Bagai harimau yang disodori kancil, Seokjin akhirnya tak bisa menampik selain jatuh pada godaan Jisoo.
Taehyung bisa menangkap nada pedih pada suara Joohyun namun ia menolak mengartikan hal tersebut sebagai rasa cemburu. Joohyun hanya mencintainya, ya hanya Taehyung seorang.
Cinta mereka begitu kuat hingga mengantarkannya pada sebuah rencana hebat nan rapi. Rencana yang berangkat dari dendam pribadi pada keluarga Kim.
Taehyung cepat-cepat menepis anggapannya. Ia memutar pembicaraan. "Permainan kemarin malam, konyol sekali," katanya remeh.
"Dan kau adalah orang pertama yang menyetujuinya!" sergah Joohyun.
"Ya—hitung-hitung bersenang-senang sebelum rencana yang sesungguhnya."
Joohyun mendelik kesal, "Aku tidak suka ketika kau mencium si wanita murahan itu!"
"Hei hei, kau lupa siapa yang mengusulkan ide?"
"Kupikir kau akan menolaknya. Aku bisa melihat ekspresi lapar Jisoo ketika memandangmu. Dasar wanita sampah, murahan," desis Joohyun berapi-api. Kemudian perhatiannya teralih pada tubuh Seokjin yang tergolek menyedihkan ketika ia menambahkan, "…pengkhianat."
Taehyung menyeringai licik. "Bukankah kata itu semestinya disematkan pada kita?"
"Semua bajingan memang pantas dikhianati sedangkan aku—sama sekali tidak."
Taehyung tersenyum puas.
"Psst, kata-kata kasar semacam itu tidak pantas diucapkan di depan Tuan Muda Kim," bisik Taehyung dengan suara dibuat-buat.
Ia beralih menuju ke tepian jendela untuk mendapatkan angin segar. Dia tidak suka bau mayat, meskipun mayat tersebut baru beberapa jam lalu sekarat. Taehyung meraih lighter berinisal Kim yang tergeletak pada meja di dekat Joohyun lalu mulai menyulut rokoknya.
"Biar saja. Toh sekarang dia tak lebih dari seonggok mayat yang bahkan Jisoo tak bisa menangisi pusaranya." Joohyun beranjak dari kursinya lalu duduk di tepian kasur tempat Seokjin terbaring.
Tiga tahun ia merencanakan ini semua. Tiga tahun ia membangun semua asa dan keyakinannya demi hari ini.
Tiga tahun…
"Kasihan sekali, wajah rupawan ini akan segera berubah jadi arang," lirihnya nanar sambil mengusap lembut kelopak mata Seokjin.
Ia tidak menyangka rencananya akan berjalan mudah dan sempurna. Semudah menyodorkan wine yang telah dibubuhi racun yang tandas dalam satu tegukan. Racun tersebut bekerja cepat membekukan segenap aliran darah, menghentikan kinerja jantung, perlahan merampas satu-persatu napas dari tenggorokan.
Sampai detak nadi terakhir, Seokjin tetap memercayai jika Joohyun mencintainya.
Dan ketika Taehyung tengah sibuk menyiramkan bensin ke seisi rumah, Joohyun mengecup bibir Seokjin—pelan dan dalam. Bentuk penghormatannya yang terakhir.
[]