Aisyah melesat dengan motor sport kesayangannya menuju rumahnya. Ah bukan, rumah suaminya dengan istrinya.
Dengan kecepatan standar Aisyah membelah kota dengan perasaan bergemuruh. Tiba - tiba tepat di lampu merah, dia berpapasan dengan sahabatnya sejak awal masuk pesantren dulu.
“Hai, Ai!” Teriak Nadia dari dalam mobil.
“Eh, assalamu'alaikum Nadia,” ucap Aisyah sambil geleng - geleng kepala. Entah apa isi otak sahabat karibnya itu. Selalu saja lupa mengucap salam.
“Wa'alaikum salam.hihihi,” jawab Nadia sambil tersenyum lebar.
“Keren! Dewa kamu bawa, yah. Besok nebeng ke kampus yaah. yaa…yaa…yaa,” ucap Nadia tanpa rasa bersalah sambil menaik turun kan alis matanya.
“Hmm...” Aisyah hanya menjawab dengan deheman.
Rupanya lampu kembali menyala hijau. Aisyah langsung melesat jauh meninggalkan mobil Nadia dibelakang. Sesampainya didepan rumah. Aisyah kembali termenung.
“Welcome aisyah sayang. Siapkan dirimu untuk bersahabat dengan air mata,” gumam Aisyah pelan.
Motornya memasuki halaman rumah. Mbak Hana membukakan pintu gerbang.
“Assalamu'alaikum,” ucap Aisyah dengan senyum sekilas lalu berlalu begitu saja.
“Wa'alaikum salam, motornya keren banget loh, dek. Mbak dari dulu pengen bisa. Sayang, mas Fahri Selalu melarangnya. Menyebalkan memang. Kamu hebat Zahra,” kata mbak Hana sambil mengikuti Aisyah dari belakang.
Hana sebenarnya hanya ingin lebih dekat dengan Aisyah. Karena selama bertahun - tahun hidup satu atap. Hana tahu, Aisyah menjaga jarak dengannya. Dia sangat pendiam. Terlihat sengaja menjaga jarak. Hanya saja belakangan ini sangat terlihat, bahkan Aisyah seperti menghindari waktu berdua dengan suaminya. Hana semakin merasa bersalah.
Aisyah menoleh kebelakang dan tersenyum,
“Maaf, saya ada tugas kampus. Permisi,” ucap Aisyah singkat dan berlalu menuju kamarnya, membiarkan tatapan sendu Hana.
Aisyah merebahkan tubuhnya di atas kasurnya. Aisyah mulai jengah dengan semuanya. Dia sudah lelah berpura - pura baik - baik saja selama bertahun - tahun.
Tok..tok..tok...
“Dek, apa adek dengar mas?” Suara Mas Fahri dari luar menggema hingga kedalam sudut ruangan kamarnya.
Aisyah bangun lalu segera membuka pintu.
“Assalamu'alaikum, mas. Maaf Aisyah baru sampai dari rumah umi,” kata Aisyah pelan. Dia mengambil tangan suaminya lalu mencium punggung tangan suaminya. “Motor didepan motor kamu, dek?” Tanya mas fahri to the point.
Aisyah hanya mengangguk.
“Mas mau Aisyah buatkan minum?” Tanya Aisyah pelan dengan kepala menunduk.
“Tak perlu. Zahra bisa kita bicara? Sebaiknya dikamar saja,” kata mas Fahri.
Aisyah mengangguk lalu menggeser tubuhnya memberi akses masuk suaminya untuk masuk ke dalam kamar.
Mas Fahri masuk ke dalam kamar duduk di tepi ranjang.
“Sini, dek,” kata mas Fahri sambil menepuk ranjang didekatnya sebagai isyarat untuk Aisyah duduk disebelahnya.
Aisyah hanya menurut saja. Dia duduk disamping suaminya.
“Hmm.. dek, maaf jika selama ini mas Fahri menyakitimu,” kata mas Fahri pelan.
Aisyah hanya diam. Ini adalah permintaan maaf entah keberapa kali. Mungkin sudah ribuan kali. Aisyah seperti mati rasa saja. Aisyah mengangguk dan tetap diam.
“Mas sayang Zahra. Tolong bersabar sedikit lagi. Mas berusaha membuka hati untuk Zahra,” lanjut Mas Fahri sambil mengecup puncak kepala Aisyah.
Aisyah hanya diam. Air matanya menggenang. Dadanya bergemuruh. Jika saja dia memejamkan matanya pasti air matanya mengalir deras.
“Dek, mas bisa saja meminta hak mas sekarang. Tapi rasanya tidak adil untuk kamu. Mas tidak ingin melakukannya tanpa cinta,” kata mas Fahri pelan.
Sungguh, Aisyah ingin sekali menangis meraung. Mungkin Aisyah cinta, mungkin Aisyah sayang. Tapi semakin sayang semakin rasanya menyakitkan untuk dijalani. Ingin rasanya menyerah. Tapi abi dan uminya selalu menjadi alasan dia bertahan. Biarlah dia menangis sendiri. Tak perlu ada air mata abi dan umi.
“Dek...” panggil mas Fahri pelan.
“Aisyah ngga papa. Aisyah akan menunggu,” jawab Aisyah dengan air mata tertahan. Namun ternyata tak bisa. Air matanya luruh begitu saja. Bahkan semakin deras.
“Hikss...hiks...hiks..,” suara tangis Aisyah terdengar memilukan.
Mas Fahri semakin merasa bersalah. Dia memeluk tubuh mungil istrinya ke dalam pelukannya.
“Maaf…maaf...maaf…” gumam mas Fahri lirih berulang dengan pelan namun masih terdengar oleh Aisyah.
Tubuh Aisyah bergetar didada bidang suaminya. Terdengar sangat memilukan. Mas Fahri kembali ikut menangis.. Seharusnya Fahri sudah mencintainya. Istri sholihahnya. Tapi entahlah. Dihatinya hanya ada Hana. Semakin berusaha, semakin sulit untuknya. Aisyah seperti adik baginya. Melihatnya terluka sangat menyakitkan untuknya. Dan perihnya dia yang membuat luka untuk Aisyah.
Mas Fahri mengendurkan pelukannya. Lalu menghapus air mata Aisyah.
“Adek sudah makan? Mbak Hana bikin makanan kesukaan kamu, dek,” ucap mas Fahri.
“Maaf, Aisyah sudah makan dirumah ummi tadi sebelum pulang,” jawabnya pelan sambil menunduk.
Mas Fahri menghela nafasnya. Aisyah memang masih belum bisa menerima Hana. Meski dia bilang ngga papa. Tapi Fahri tahu persis istri mungilnya itu terluka. Dia tak akan memaksa mereka satu meja makan bersama.
“Sebaiknya kamu istirahat, ya. Mas kebawah dulu. Oh iya. Mbak Hana hamil dek,” terang mas Fahri dengan mata berbinar lalu berlalu dari kamarnya.
“Assalamu'alaikum,’ ucap suaminya lalu menutup pintu kamar Aisyah.
Aisyah menangis.
“Hiks...hiks…hikss… apa Aisyah berdosa ummi. Aisyah sedih mendengar kabar baik itu. Aisyah terluka umi.... mas Fahri bejuang mati matian agar mbah Hana hamil selama bertahun- tahun.. ya Allah... astaghfirullah...” ucap Aisyah dalam hati.
Malam ini kembali seperti malam - malam sebelumnya. Dia kembali ditemani air mata yang selalu setia selama bertahun - tahun. Hampir 6 tahun menikah dan dia masih gadis.'Berharap pada makhluk-Nya
memang akan mengecewakan.
Allah mungkin cemburu.
Sehingga cinta tak kunjung hadir...'
KAMU SEDANG MEMBACA
AISYAH WEDDING (END)
SpiritualTELAH DIBACA LEBIH DARI 2,5 JUTA ORANG!! #WATTYS2019 " Bukan aku mengharap untuk disentuh. Aku seorang muslimah. Aku hanya merasa direndahkan dengan perlakuannya padaku. Bukan fisik tersakiti. Harga diriku tercabik..." #43 9 April '19 #2 24 April '1...