PART 12

90.6K 5.3K 89
                                    

Selepas sholat subuh berjama'ah, mamah Fahri memasak. Aisyah yang sedang mencuci mendengar suara bel pintu.
Aisyah setengah berlari membuka pintu.
“ Jangan berlari, Ai. Berhati-hatilah,” ujar mamah Fahri.
“ Itu pasti mas Fahri, mah. Dia pasti sangat lelah,” jawab Aisyah sambil berlari.
Mamah  Fahri menghembuskan nafas kasar.
“Assalamu'alaikum,” ucap Fahri pelan. Wajahnya kelihatan pucat. Kantung matanya kelihatan jelas.
“Wa'aikum salam. Ya Allah mas....”  Aisyah kaget melihat penampilan suaminya yang berantakan. Aisyah mencium punggung tangan suaminya.
“Mas rebahan dikamar yah. Biar Aisyah siapkan minum dan air hangat untuk mandi. Mas sudah sarapan?” Ucap Aisyah dengan nada sangat khawatir.
Fahri tak menjawab, hanya melewati Aisyah begitu saja dan langsung menuju kamar Hana. Fahri tak menyadari ada mamahnya di dapur.
Mamahnya sontak kaget melihat Fahri malah melewati Aisyah begitu saja bahkan malah masuk ke kamar pembantu. Rasanya amarah sudah di ubun-ubun.
“ Bagus sekali pagi -pagi baru pulang. Mabok kamu masyk kamar pembantu. Kamar kamu diatas anak durhaka!” Teriak mamah Fahri dari arah dapur tanpa melihat ke arah Fahri. Fahri tersentak kaget. Ia hanya menghela nafas pasrah.
“Assalamu'alaikum, mah. Kapan sampai?” Tanya Fahri dengan suara lemah.
“Aisyah setengah mati menunggu kamu pulang semalaman Fahri! Minumlah teh buatan istrimu! Mandi sana, lalu ke ruang kerja. Ada yang mau mamah bicarakan!” Perintah mamah Fahri lantang.
Fahri hanya mengangguk, ia memijat pelipisnya sebentar. Aisyah berjalan mendekati suaminya di ruang tengah.
“Mas, ini aku buatkan teh green tea,” kata Aisyah lembut.
Fahri mengangguk, sungguh senyum Aisyah selalu menghiasi wajah mulusnya. Fahri merasa baruntung dicintai Aisyah. Fahri meminum teh buatan Aisyah hingga tandas.
“Mas mandi dulu yah,”  ujar Fahri dengan senyum tipisnya.
Aisyah mengangguk. Lalu menyiapkan sarapan yang telah dimasak ibu mertuanya.



**********************************

Selesai mandi,  Fahri menuju ruang kerja. Aisyah dan mamahnya sudah menunggu di dalam.
“Duduk saja disitu,” ujar mamah Fahri.
Fahri dan Aisyah berpandangan sekilas. Aisyah menunduk kemudian.
“To the point saja. Kamu membuka luka lama mamah Fahri,” ujar mamah Fahri dengan suara serak.
Fahri merasa bersalah kepada kedua wanita dihadapannya ini. Fahri hanya menunduk. Masalah penyakit kanker Hana dan kandungannya belum kelar, datang lagi masalah baru.
“Kamu tahu, mamah tidak pernah mengharamkan poligami. Tapi kamu bukan Nabi Fahri. Kamu bahkan tahu persis selama ini kamu tak berlaku adil',” Mamah Fahri menghela napas sejenak. Air matanya menggenang dipelupuk mata.
Fahri melihat jelas tatapan luka ibunya. Fahri menangis menyesal membuat ibunya menangis. Bukan menyesal telah menikahi Hana, tidak. Dia menyesal tidak bertindak tegas atas pilihannya. Dia mendzolimi banyak orang.
“Maaf, mah,” kata Fahri dengan air mata mengalir.
Aisyah hanya diam. Dia sedih melihat luka ibu mertua dan suaminya. Aisyah bahkan tak bisa lagi menangis. Air matanya telah kering mungkin sekarang.

“Kamu tahu penderitaan mamah membesarkan kamu seorang diri. Kamu tahu luka mamah saat ayah kamu menikahi selingkuhannya. Kamu tahu luka itu Fahri. Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya,” lanjut mamah Fahri dengan air mata berderai.
Aisyah menatapnya pilu. Luka itu memang kini menganga lebar. Aisyah tahu persis rasanya terbuang oleh suaminya sendiri.
“Setidaknya ayahmu punya hati. Masih memperlakukan mamah dengan baik sebelum kami bercerai. Ayahmu punya hati tidak menjadikan kami dalam satu atap. Kamu tidak pantas untuk Aisyah. Lelaki brengs*k macam kamu dan ayahmu tak pantas kami cintai,” kata mamah Fahri terisak.
Fahri menangis pilu. Dia sangat terluka melihat ibunya terluka dan menangis seperti ini.
“Maaf...maaf…maaf,” kata Fahri dengan bersujud dikaki ibunya.
Mamah Fahri tak menepis anaknya dan tak juga memegangnya.
“Kamu membuka luka mamah Fahri. Bahkan mamah ingin mencoret namamu dari daftar keluarga dan menggantikannya dengan Aisyah putri mamah,” kata mamah Fahri dengan suara serak.
Fahri merasakan air matanya jatuh hingga ke pundaknya yang berada dipangkuan ibunya. Setiap air mata yang jatuh bagaikan godam yang menghancurkan tubuhnya. Rasanya sangat sakit.
“Maaf mah…maaf,” Fahri membuka suara kembali.
“Sekarang kamu tanyakan pada istrimu,” kata mamah Fahri sambil menatap Aisyah.
Aisyah tak menangis, meski matanya telah memerah. Dia tetap tersenyum.
Fahri melihat ke arah Aisyah. Aisyah tetap tersenyum, tapi sungguh senyum itu membuatnya merasa semakin merasa bersalah. Fahri menghambur dan memeluk kaki Aisyah. Dia terus menciumi tangan Aisyah dengan berkata maaf berulang-ulang. Aisyah tak bergeming.
“Tak perlu begini mas. Jangan merendahkan diri didepan saya,” kata Aisyah lirih.
Fahri mendongak, ketika Aisyah berkata saya berarti dia tidak baik -baik saja.
“Saya tidak mau menjadi penghalang kalian. Jangan menahan saya karena rasa bersalahmu. Pergilah ke tempat hatimu. Saya tidak apa-apa,” kata Aisyah tenang.
Aisyah telah memikirkannya dengan matang. Ucapan Nadia dan mertuanya benar. Aisyah tak bisa mendzolimi diri sendiri dan mbak Hana. Aisyah mengalah, melepas cintanya. Meski sakit, tapi Allah bersamanya.
“Maaf Ai, mas mohon jangan tinggalkan mas. Mas ... mas sayang kamu Ai. Mas….” Fahri belum sempat melanjutkan kalimatnya Aisyah sudah memotong pembicaraanya.
“Mbak Hana lebih membutuhkan mas Fahri sekarang. Pergilah. Aisyah tidak akan mengambil harta keluarga mas.pulangkan Aisyah ke rumah abi,” kata Aisyah lirih.
Dia menyerah. Melepas cintanya untuk kebahagiaan mas Fahrinya. Fahri menangis. Dia mencintai Hana, tapi dia juga mulai menyayangi Aisyah, istri terbaiknya. Istri yang selalu ada untuknya. Istri yang selalu tersenyum meski luka terus menghujam hatinya. Istri sholihahnya. Istri tangguhnya.
“Dek, mas mohon...” kata Fahri memohon.
Mamah Fahri menangis. Dia sangat terluka dengan semua ini. Tapi dia akan selalu mendukung keputusan mereka.
“Pulangkan Aisyah pada abi,”  tegas Aisyah sekali lagi.
“Apa tidak bisa dipikirkan lagi, dek?” Tanya Fahri sekali lagi.
Aisyah menggeleng.
“Saya sekarang sadar, saya terlalu egois menahan mas. Semalaman saya menunggu mas. Dan saya tahu dari perlakuan mas tadi. Saya tak mau jadi penghalang. Pergilah. Pulangkan saya pada abi. Saya tidak bisa berjuang sendiri terus,”  kata Aisyah dengan suara semakin lemah
Fahri dan mamahnya menangis pilu. Fahri merasa sangat sesak. Dia mulai mencintai Aisyah. Rasanya apa sesesak ini?
Apa sesakit ini yang Aisyah rasakan selama bertahun-tahun?

'Biarlah aku yang mengalah.
Pergilah dengan bahagiamu.
Biar aku saja yang terluka.
Jangan kamu....'

AISYAH WEDDING (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang