[3]-Boomerang

661 144 71
                                    

"Kejahatan yang dilakukan orang lain pada kita, jangan kita balas dengan kejahatan lagi. balaslah ia, dengan kebaikan yang tulus dari hatimu yang suci."

Alesya Zulfainer.

Alesya Zulfainer

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

****

Kay menyisir rambutnya di depan cermin. Polesan gel pada rambutnya kini sudah tertata rapih. Ia memandang dirinya dengan percaya diri. "Siapa yang tidak akan jatuh dengan pesonaku?" gumamnya pada dirinya di dalam cermin. Kay tersenyum miring. Meraih tas selempang hitamnya dari atas gantungan. Tak lupa ia pun meraih kunci motor yang tergeletak di atas meja kecil.

"Kay .. ."

"Ne, appa? [Iya, Ayah?]"

"Keluarlah, kita sarapan bersama." Suara appa-nya terdengar jelas di luar sana. Tanpa menunggu lama, Kay segera membuka pintu kamar agar appa-nya bisa masuk.

"Kamu ... sudah rapih?" Appa Kay bertanya dengan heran. Tumben sekali, Kay sudah rapih di jam 06:00 am. Biasanya di waktu se-pagi ini, Kay masih menggunakan kaos polos dan juga celana bahan pendeknya. Lebih-lebih Kay belum mandi. Wajah yang biasanya terlihat kumal itu kini terlihat berseri-seri membuat appa Kay ingin bertanya, 'Kamu salah makan ya, Kay?' tapi ia urungkan dalam kemelut pemikirannya.

"Appa mian, [Ayah maaf], hari ini aku sarapan di sekolah karena harus berangkat lebih pagi," kata Kay berusaha menjelaskan.

Appa-nya belum menjawab. Yang dilakukan adalah melangkah masuk ke dalam kamar Kay. Memang Appa-nya Kay jarang sekali memasuki kamar anak laki-lakinya. Kamar Kay didominasi oleh cat dinding berwarna abu terang. Lalu, poster-poster pemain sepak bola. Piagam kelulusannya saat TK-SD-SMP dan juga satu lukisan indah yang dibuat oleh ....

"Kay? Bukannya appa sudah bilang untuk bakar semua barang-barang eomma-mu?" Appa Kay memutar balik tubuhnya. Menatap anak laki-lakinya yang kini membulatkan mata karena terkejut.

Kay lupa. Ia belum sempat menyembunyikan lukisan kaligrafi buatan eomma-nya sebelum membuka pintu kamar tadi. Dalam hati, Kay mengutuk dirinya yang ceroboh. "Oh, uh, appa ... sepertinya tidak terlalu buruk kalau aku memajang lukisan itu. Aku sangat suka reliefnya. Bukan karena lukisan itu buatan eomma," timpal Kay meringis dirasa alasannya tidak cukup kuat untuk meyakinkan appa-nya.

Appa-nya berdecak lidah. "Selera senimu amat jelek. Segera bakar lukisannya! Kalau tidak, appa sendiri yang akan membakarnya!" ucapan itu mengakhiri percakapan antara Kay dan appa-nya. Appa Kay melenggang pergi untuk turun ke meja makan. Tanpa sempat menjawab pertanyaan Kay di awal. Tetapi Kay sudah mengerti. Jika appa-nya bersikap cuek, diam dan tak menjawab itu artinya appa-nya mengizinkan Kay untuk pergi ke sekolah lebih pagi dan sarapan di sekolah. Kay menghela napas pendeknya. Lukisan itu adalah satu-satunya barang milik eomma yang masih ia jaga. Meski kebencian pada eomma-nya masih membumbung tinggi, tapi kadar kebencian Kay tidak separah kadar kebencian milik appa-nya. Kay masih menyimpan foto eomma-nya di dalam dompet. Foto yang ia sembunyikan, diam-diam tanpa sepengetahuan appa. Kay akhirnya memutuskan untuk naik ke atas kasur, dan agak berjinjit untuk meraih lukisan kaligrafi tersebut. "Kalauku biarkan di sini, appa pasti membakarnya." Disimpanlah olehnya lukisan tersebut ke dalam lemari. Kay akan memindahkannya ke gudang nanti. Saat appa-nya tak ada di rumah.

Khimar Fillah✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang