Kibum memberikan sebotol minuman kaleng pada Kay. Sejak jam istirahat berlangsung, keduanya pergi ke tribun lapangan basket. Kibum mengajak Kay yang sedang—mungkin bersedih—ke tempat ini.
"Apa Appa-mu memarahimu lagi?" Kibum bertanya sembari menoleh ke arah Kay.
"Ani," Kay menunduk semakin dalam.
"Oh, apa Minho dan yang lain ... meninggalkanmu?" Kibum belum kehabisan pertanyaan.
"Ani," Kay memejamkan matanya.
"Lalu, apa yang membuatmu seperti ini?" tampaknya Kibum sudah lelah menebak dan menanyakan pertanyaan yang terlintas di kepalanya. Satu-satunya cara untuk mendapat jawaban yang benar adalah bertanya langsung pada Kay.
"Apa ... kau pernah merasa kesepian?"
Kibum menerima pertanyaan dari Kay, bukan jawaban. "Ketika Eomma dan Appa-ku harus berpisah karena terlilit hutang yang besar, aku merasa kesepian dan sedih," Kibum menghela napas. Ucapannya membuat kepala Kay sedikit terangkat. "Tapi, karena Appa-mu yang baik telah membayar semua hutang keluargaku, Eomma dan Appa-ku bisa kembali. Aku sangat senang dan tidak merasa kesepian lagi." Kibum tersenyum menyudahi jawabannya.
"Kau bilang ... Appa-ku baik?" Kay terkekeh sekaligus menggeleng bersamaan.
"Ne. Dia sangat baik!"
Kay memijat keningnya. Di mata orang lain; karyawan, koleganya, dan bahkan teman Kay sendiri—Kibum—Appa Kay begitu dihormati. Di-cap sebagai orang yang baik.
"Jika posisi yang membuatmu sedih kemudian senang itu dirubah, bagaimana kau menggambarkannya?" Kay mengajukan pertanyaan kedua.
Namun Kibum tidak dapat memahami maksud ucapan Kay sehingga ia hanya bisa menyahut, "Ne?"
"Bagaimana rasanya, jika Appa-mu sendiri yang ingin memisahkanmu dari Eomma?"
"Kay, mian—"
"Bagaimana rasanya, hidup dalam kebencian agama yang sejak kecil kau pikul di punggungmu?"
Kibum membiarkan Kay terus meracau.
"Bagaimana rasanya, semua kebencian itu ... perilaku memberontak, menyakiti orang lain yang tidak bersalah, enggan mengingat semua kebaikan Eomma-mu karena tidak lagi mendapat kasih sayangnya, saat kau ditinggalkan sejak kecil, bagaimana?" leher kay berdenyut seiring dengan erangan menyakitkan yang mulai keluar dari mulutnya.
Kibum bersiap menepuk punggung Kay namun gerakkannya tertahan sesaat setelah Kay kembali bersuara, "Bagaimana rasanya, kesepian yang menyedihkan terus mengelilingi hidupmu? Merebut kebahagian yang tidak pernah bertahan lama? Lalu ...." Kay membiarkan Kibum melihatnya menangis.
"Apa kau pernah berpikir, pada siapa kita harus mengadu? Menumpahkan semua yang kau rasakan? Ketika, orang yang menyebut dirinya sebagai—setitik debu di dalam bumi—menjadi petunjuk yang mengahantarkanku pada cahaya (jalan yang benar) juga meninggalkanku di waktu yang sama?" Kay mencengkeram baju di bagian dadanya.
"Kau baik-baik saja?" Kibum kini meraih kedua bahu Kay.
"Tidak. Aku tidak baik-baik saja," Kay menggelengkan kepalanya. "Aku kehilangan orang yang mengenalkanku pada agama Islam. Dia adalah orang yang sangat mirip dengan Eomma-ku."
"Islam?!" Kibum melepas pegangan tangannya dari bahu Kay.
"Kenapa?" Kay melirik ke arah Kibum, wajah mengenaskan itu masih sempat tertawa, samar namun jelas ditujukan untuk lawan bicaranya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Khimar Fillah✔
Spiritual[SELESAI!] *** SINOPSIS | Khimar Fillah Islam itu adanya di Indonesia. Tapi cahayanya ada di Korea. Kok bisa, ya? Alesya Zulfainer, remaja muslim yang terpaksa pindah ke Korea karena tuntutan pendidikannya. Ia hanya perempuan biasa yang berusaha ta...