[21 END]-Jatuh atau Fitrah

572 41 10
                                    

Ingin bersamanya dalam waktu yang lama, masih dengan perasaan yang sama, tapi ... menginginkan yang bukan miliknya bisakah dikatakan ... jahat? Atau licik? Naif? Kay mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. Menopang dagu sambil berpikir keras. "Selamat pagi? Bagaimana kabarmu hari ini?" kemudian mengacak rambutnya dengan kesal, "terlalu formal! Alesya, kamu sudah sarapan? Ani-ani!" kepalanya kini menggeleng dengan gusar. Kay kehabisan kalimat untuk menyapa Alesya pagi ini. Masih dengan perasaan diambang bingung dan tidak enak. Namun sayang, sayang jika sisa waktunya yang sedang dalam masa liburan ini, ditambah dengan kehadiran Alesya—kalau Kay lewatkan begitu saja—bukan hanya uangnya yang akan tenggelam. Mungkin. Perasaannya bisa ikut tenggelam.

"Pagi, baik, dan aku sudah sarapan." Tiba-tiba suara perempuan menimpal dari arah pintu, membuat Kay berjingkat mundur dari sofa yang ia duduki.

"Bagaimana dengan Tuan? Sudah sarapan?" ada tawa dalam pertanyaan itu.

Kay membiarkan dirinya terdiam untuk melihat tawa Alesya yang belum reda. "Alesya, kamu mengangetkanku!" kata Kay seraya menggaruk kecil pangkal hidungnya.

"Habisnya kamu seperti orang yang sedang menghafal teks drama. Gwenchana Kay, berlakulah seperti tamu dan anggap aku sebagai pekerja biasa." Alesya tersenyum.

Boleh tidak kalau Kay merasa senang karena melihat Alesya tersenyum?

Bolehkah? Bisa saja senyum itu hanya senyum sopan santun. Senyum Alesya tentunya milik ... suaminya.

"Jadi Tuan, hari ini agenda apa yang akan kita lakukan?" tanya Alesya.

Gaya Tour Guidenya membuat Kay mendecih. "Bisa tidak, tidak memanggilku dengan Tuan? Panggil namaku saja Alesya. Seperti biasanya," kilah Kay. Kini berdiri dan meraih hodie hitamnya.

"Mianhae, tapi aku harus bersikap professional," balas Alesya.

Kay meliriknya agak lama. Hari ini Alesya menggunakan seragam kerja berwarna cream. Khimar-nya selalu sama, akan menutup sampai dada. Namun kali ini khimar itu berwarna putih. Meski tidak senada namun tetap terlihat cocok jika dipadukan dengan seragam kerjanya. Kay semakin intens menatap Alesya. Tatapan yang sejak saat ini membuat Alesya risi sehingga bergerak mundur dengan perlahan.

"Kamu serius menggunakan seragam ini?"

"Kay!" Alesya berteriak saat Kay bergerak maju dan menarik seragam bagian lengannya.

"Kenapa bahannya terasa dingin?"

Pertanyaan Kay membuat alis Alesya terangkat sebelah.

"Kamu enggak tahu? Hari ini akan turun salju!" setelah berkata itu Kay melepas tangannya dari seragam Alesya. Kay berjalan menuju meja kecil di kamar ini untuk mengambil sebuah kotak. "Pakai ini!" katanya menyodorkan kotak tersebut.

Alesya belum bergerak untuk meraih kotak itu.

"Ambil!" perintah Kay lagi.

Mau tidak mau, Alesya kini mengambilnya. Membuka penutup kotak untuk melihat benda apa yang terdapat di dalamnya. "Syal? Ini tidak benar," Alesya menutup kembali kotak tersebut seraya mengulurkannya ke arah Kay.

"Tidak benar? Kenapa?" Kay mendorong kotak itu dari pandangannya.

"Karena ... aku," Alesya menundukkan kepala.

Kay mengerutkan keningnya. "Karena?"

"Aku tidak enak menerima pemberian darimu." Alesya mengangkat wajahnya.

Kay mulai berpikir jauh lagi.

"Bagaimana kalau ... aku bayar? Syal ini, pasti akan lebih baik kalau aku membayarnya?"

Khimar Fillah✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang