Berubah

1.1K 150 61
                                    

Ekspresi Jisoo yang merengut membuat Seokmin kebingungan. Gadis itu menukik bibir ke bawah. Menatap Seokmin dengan tajam dan dada kembang kempis. Bernapas dengan kasar. Nampak jelas sedang berusaha menahan amarah.

"K-kenapa?" tanya Seokmin, ragu.

"Apa aku jelek?"

"Hng?" alis Seokmin terangkat naik. Omong kosong macam apa itu? "Bahkan orang buta pasti akan mengatakan kalau Hong Jisoo itu cantik."

"Aku serius, Lee Seokminnn!" geramnya, mengempalkan tangan. Bahkan menggertakkan gigi saking kesalnya.

Bukannya seram, ekspresi Jisoo seperti itu justru sangatlah lucu. Pemuda Lee itu tertawa geli melihat tingkah sahabatnya. "Memangnya siapa yang mengatakan kamu jelek? Secantik atau setampan apa dia sampai berani mengataimu?"

Jisoo menggeleng. "Hanya saja ... Seungcheol lebih memilih Jeonghan daripada aku. Itu artinya aku jelek, kan?"

Seokmin paham betul, sekarang. Meski tak diceritakan secara gamblang, Seokmin bisa mengerti dengan baik. Pasti, Choi Seungcheol, laki-laki yang selama ini ditaksir oleh Jisoo, sudah memiliki sosok gadis lain di sisinya. Salah satu teman satu angkatan Jisoo. Yoon Jeonghan. Meski sedikit perih, Seokmin coba menahannya. Mendekat pada Jisoo, lalu mengelus puncak kepala sahabatnya itu.

"Mau aku bantu?" tawar Seokmin.

"Bisakah?"

Laki-laki bangir bermarga Lee itu membawa Jisoo ke salah satu salon. Kebetulan teman Seokmin bekerja sebagai penata rias di sana. Boo Seungkwan. Gadis Jeju yang periang. Meski hampir dua jam berada di tempat yang seharusnya membosankan bagi laki-laki, Seokmin tak merasa bosan sama sekali. Apalagi Jisoo. Gadis itu terbawa suasana canda dan tawa mereka berdua.

Seokmin ditinggal sebentar. Seungkwan mengajak gadis kesayangan Seokmin yang hingga detik ini masih berstatus sebagai sahabat itu mendatangi salah satu butik dekat salon. Mencari pakaian terbaik dan pas untuk Jisoo. Kini pemuda mancung itu tersenyum puas. Gadis itu sangat cantik, meski hanya memakai riasan makeup yang tipis.

"Jadi, siapa yang bisa menolak Jisoo sekarang?" ujar Seokmin, dengan bangga.

Seungkwan menimpali. "Ya... Tentu saja tidak ada. Bahkan sahabatnya pun sudah jatuh cinta sejak dulu."

Mendengarnya, Jisoo kebingungan. Berbeda dengan Seokmin yang segera merangkul gadis Boo itu, lalu membekap mulutnya. Keakraban mereka berdua membuat Jisoo gemas. "Kalian berdua cocok sekali... Kenapa tidak berpacaran saja?"

Seokmin meringis dalam hati. Seungkwan berbisik pelan. Aku turut berduka cita atas hatimu, katanya. Dengan suara yang amat pelan.

Tidak... Seokmin tidak boleh menunjukkan rasa kesakitannya. Ia harus tetap tersenyum di hadapan Jisoo. Awalnya Seokmin yakin bahwa dirinya pasti masih sanggup bertahan. Namun nyatanya, tak semudah yang dikira. Tubuh Seokmin membeku, waktu seakan berhenti sejenak, bom nuklir seperti meledak tepat di jantungnya, saat mendapati Jisoo tengah berkencan dengan Seungcheol di kafe tempatnya bekerja.

Misi Seokmin berjalan lancar. Jisoo berhasil menggaet pemuda Choi itu. Bukankah seharusnya Seokmin senang karena usahanya kemarin berhasil?

Pemuda yang biasanya terlihat begitu ceria itu meminta izin pada rekan kerjanya untuk beristirahat dengan alasan ia kelelahan. Padahal, tentu saja ada alasan lain. Ia tak sanggup melihat kedekatan Seungcheol dan Jisoo.

Sejak Jisoo mengubah penampilan, ia begitu disanjung bak seorang putri kerajaan. Hidupnya sungguh berbeda. Tidak terkecuali persahabatannya dengan Seokmin. Sudah beberapa hari ini pemuda bersuara emas itu menghindari Jisoo, entah apa alasannya.

Jisoo bersumpah. Ia jauh menyenangi kehidupan sebelum mengubah penampilan karena Seokmin selalu ada di dekatnya. Selalu ada untuknya. Semua yang terjadi sekarang sungguh berbanding terbalik. Kehidupan Jisoo sekarang begitu suram, tanpa canda tawa sosok itu. Seokmin menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.

Ini sudah yang ke-entah berapa kalinya, Jisoo berusaha mendatangi kafe tempat Seokmin bekerja. Namun selalu saja nihil. Gadis itu tidak pernah lagi menemukan keberadaan sahabatnya. Gadis itu menangis. Menunggu kehadiran Seokmin sampai kafe itu tutup. Seokmin tidak juga menampakkan keberadaannya.

Duduk di salah satu ayunan di taman kecil dekat kafe, Jisoo masih sesekali terisak. Mengayuh pelan ayunan. Menatap kosong kedua kakinya yang menjuntai. Terus memanggil Seokmin.

"Pulanglah."

Mendengar suara yang sudah begitu lama tak ia dengar, Jisoo segera mendongak. Tepat di hadapan gadis Hong itu, Seokmin berdiri menatapnya. Tanpa ekspresi. Tanpa raut wajah yang jelas. Jisoo takut, tapi rindu. Untuk itu, Jisoo tak peduli. Segera berdiri dan memeluk. "Kamu ke mana saja, Seok? Aku lelah mencarimu berhari-hari..."

"Untuk apa?"

Jisoo menggeleng di sana. Membaui seragam kerja Seokmin. Kopi dan cream. Seragam kafe. Seokmin masih bekerja di situ. "Kamu sengaja menghindariku? Tapi kenapa?"

Seokmin terkekeh kecil. "Kamu sudah punya Seungcheol. Jadi kehadiranku tidak akan pernah berfungsi lagi."

Jisoo melepaskan pelukannya. Terkejut dengan ucapan itu. "Maksudmu?"

Menangkup pipi yang cukup berisi itu, Seokmin menatap manik mata kucing Jisoo dengan nanar. Sungguh, ia merindukan Jisoo. Tapi ia juga tidak mau menjadi penghalang kebahagiaan gadis itu. Ia harus sadar diri. Jisoo tidak pernah menganggapnya lebih dari sahabat. "Aku menyukaimu, Soo. Aku melihatmu sebagai pria. Menyayangimu lebih dari sahabat."

Tangisan Jisoo pecah. "Iya, aku tahu. Maafkan aku. Aku terlambat menyadari ini. Orang yang aku butuhkan itu kamu, bukan Seungcheol. Maafkan aku..."

***

15.04.2019

Focal Point (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang