Bahagia

1.2K 139 50
                                        

"Kamu yakin?" tanya Seokmin lagi, menggenggam tangan Jisoo dengan erat.

Jisoo tidak mengeluarkan suaranya. Namun, kepala yang mengangguk sudah cukup dijadikan sebagai jawaban.

Tidak ada pilihan lain. Seokmin harus menurutinya. "Baiklah... Besok, ya. Hari ini aku harus menemui Dokter dulu. Supaya kamu aman."

Seokmin sudah bertekat. Sejak dulu. Bahkan di detik pertama saat Jisoo menganggukkan kepalanya dan menerima pernyataan cinta Seokmin. Apa pun akan Seokmin lakukan agar Jisoo terus bahagia bersamanya. Tidak ada kenangan buruk yang tercipta. Jadi, Seokmin sungguh tak memiliki alasan untuk menolak permintaan Jisoo yang satu ini. Pemuda bangir itu merangkul Jisoo dengan penuh kasih sayang. Menyalurkan energi yang ia miliki, berharap si kesayangan dapat bertahan hingga kencan mereka hari ini berakhir.

Setelah berdebat panjang dengan Dokter yang merawat Jisoo kemarin malam, akhirnya Seokmin berhasil meraih izin untuk pergi berkencan di keesokan harinya. Tentu sang Dokter memberi ribuan catatan kecil yang harus Seokmin ikuti. Dijadikan sebagai syarat untuk membawa Jisoo ke sebuah taman tempat mereka pertama kali berkencan dulu.

Ya, Seokmin sudah gila. Dan dengan kegilaannya ia membawa si gadis manis kesayangan berkencan di sebuah taman. Padahal kekasihnya itu dalam keadaan sakit parah. Tumor otak.

"Aku hampir mati dicekik Doktermu itu tadi malam," kesal Seokmin. "Sepertinya dia tidak melewati masa muda dengan baik."

Jisoo terkekeh geli. Terus bergelayut manja di lengan kekasihnya. Sangat bahagia. Akhirnya ia berhasil menghirup udara segar, tanpa aroma obat-obatan sedikitpun. "Tapi kamu berhasil, Seok. Terima kasih banyak."

"Kamu sungguh tak apa? Kalau merasa pusing, langsung bilang padaku, ya!"

Jisoo mengangguk. "Tenang saja, kondisiku sangat baik hari ini. Aku sangat senang!"

Tidak usah Jisoo katakan pun, Seokmin tahu. Senyuman Jisoo sangat berbinar saat ini. Menggambarkan kebahagiaan yang ketara jumlahnya. Seokmin ikut senang melihatnya. Reaksi wajah bahagia Jisoo sekarang ini sudah sungguh jarang ia temui. Terutama sejak menjalani kemoterapi.

Seokmin mengeratkan balutan kain di leher Jisoo. Juga merapatkan genggaman tangan mereka. "Kamu kedinginan?"

Jisoo mengangguk sejenak. Tersenyum tipis setelahnya. "Tapi tanganmu hangat," jawab Jisoo, dengan pipi yang merona merah.

Setelah beberapa belas menit berkeliling, keduanya memutuskan untuk beristirahat dan duduk di salah satu kursi. Berada tepat di bawah pohon rindang. Menghadap sebuah air mancur kecil. Airnya nampak sejuk. Meski tak menyentuh, Jisoo bisa merasakan kesejukannya dari jarak beberapa meter.

Jisoo merebahkan kepalanya ke pundak Seokmin. "Berjanjilah jangan menangis, Seok."

"Kamu bicara apa?"

"Aku sungguh menyayangimu. Hiduplah dengan bahagia."

Seokmin mengangguk. "Aku akan hidup bahagia jika kamu juga bahagia."

"Aku sangat bahagia."

Seokmin tersenyum. "Kamu ingat pertama kali kita bertemu? Aku tidak sengaja menabrakmu dan menumpahkan kopi ke pakaianmu."

Jisoo mengangguk dan tersenyum.

"Juga... Saat aku mengajakmu berkencan untuk pertama kalinya.. Reaksimu sangat lucu, Soo. Apalagi saat aku memintamu untuk menjadi kekasihku. Wajahmu merah dan matamu sangat berbinar. Saat itu aku kembali jatuh cinta padamu untuk yang keseribu kalinya."

Jisoo tersenyum lebar.

"Soo, aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Entah aku dulu yang pergi atau kamu, aku hanya ingin mengatakan satu hal padamu, aku sungguh mencintaimu."

Jisoo memejamkan matanya.

"Tidak peduli entah akhirnya kita akan bersama atau tidak. Aku akan selalu meronta dan berteriak. Mempertahankanmu agar tetap bersamaku. Meski aku harus melawan takdir."

Jisoo meloloskan tetes demi tetes cairan bening di matanya yang masih tertutup.

"Aku mencintaimu, Soo. Sungguh. Mungkin kamu sudah bosan mendengar kalimat itu, tapi aku tidak akan pernah bosan mengatakannya. Aku mencintaimu."

Napas Jisoo mulai memendek.

"Sesuai permintaanmu, aku akan bahagia. Tapi maaf, ada satu hal yang akan aku langgar. Soo, berbahagialah. Aku berjanji kita akan terus bersama."

Seokmin menepati janjinya, tentu saja. Tak ada alasannya untuk bahagia, kecuali karena kehadiran seorang Hong Jisoo. Suatu sumber kebahagiaan abadi. Juga sebuah pembuktian, bahwa keduanya benar tak mungkin dapat dipisahkan. Meski takdir sekalipun.

"Harusnya aku langsung menyadari maksud kalimat yang Seokmin ucapkan setelah kepergian Jisoo kemarin," keluh Seungcheol. Menatap tanah basah, tempat Seokmin dimakamkan.

Kening Soonyoung mengerut, mempertanyakan. Padahal yang sangat dekat dengan Seokmin adalah dirinya. Bagaimana bisa ia tidak tahu keadaan Seokmin sebelum pergi menyusul Jisoo? "Seokmin mengatakan apa?"

"Jisoo memintaku untuk hidup bahagia. Tentu aku akan bahagia, tapi ada satu hal yang harus aku langgar," ujar Seungcheol, menirukan semua yang Seokmin ucapkan. Termasuk bagaimana nada kesedihan si pemuda bangir tersemat di sana.

"Melanggar takdir?" tanya Soonyoung, terkekeh miris. "Konyol."

"Kamu tahu sejak awal. Seokmin memang orang yang konyol. Tapi cintanya ke Jisoo tidak selucu itu."

***

05.04.2019

Focal Point (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang