SHUA; Not Just A Robot

1.8K 186 14
                                    

Dikey pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh robot ciptaannya sendiri. Mengharap belas kasihan, rasanya tidak memungkinkan lagi. Tubuhnya terkulai tak berdaya. Di atas ranjang besi, tempatnya menciptakan Shua dulu. Robot kesayangannya.

Kulit mulus yang Shua miliki terasa begitu kenyal, layaknya manusia seutuhnya. Penuh perjuangan Dikey mendapatkannya. Silikon terbaik yang pernah ada di dunia.

Shua melangkah maju. Tak bisa Dikey cegat. Kematiannya semakin mendekat. Lucu rasanya. Dikey ingin tertawa sejenak. Ia akan mati di tangan robot ciptaannya sendiri.

Kepala Shua meneleng. Dikey terkagum dari tempat berbaringnya. Shua begitu mirip dengan mendiang istrinya. Memang, itulah niat awal Dikey. Menciptakan robot yang mirip dengan istrinya, agar tak lagi merasakan kesepian.

"Tinggal satu langkah lagi," ujar Shua, selagi meletakkan sebilah pisau tajam tepat di samping penciptanya berbaring.

Laki-laki berumur 37 itu tidak takut. Ia siap untuk mati sekarang juga. Namun, ia hanya memikirkan bagaimana Shua sepeninggal dirinya. Bisakah Shua menjaga dirinya sendiri?

Shua memang hanya seorang robot. Tak butuh makan. Tak butuh teman. Juga tak butuh kasih sayang. Hanya saja, Shua perlu menambah energi berbentuk cairan yang hanya Dikey pemilik ramuannya. Juga, diciptakan tanpa keberadaan hati. Shua menganggap dirinya sebagai produk gagal karena hal ini.

"Aku mencintaimu, Shua."

Dikey menciptakan Shua penuh dengan pengharapan. Ia tak menginginkan orang lain, selain mendiang istrinya. Bagaimanapun caranya, tak peduli. Selama lebih dari 8 tahun ia bereksperimen. Membuat satu rangkaian hingga rangkaian berikutnya, hanya agar dapat menghidupkan lagi mendiang istrinya. Meski itu dalam bentuk robot.

Robot wanita cantik, yang mirip 90 persen dengan istri tercinta. Bagaimana dengan 10 persennya? Sekali lagi, Dikey menciptakan Shua tanpa hati. Salah satu organ paling penting bagi manusia. Tanpa keberadaan hati, Shua tak pernah tahu bagaimanan rasanya kasihan, bahagia, sedih, kecewa, dan perasaan lainnya menggerogoti dada. Shua hanya diciptakan dengan otak buatan. Otaknya tak tahu harus menyuplai perasaan yang diterimanya ke arah mana. Mampu berpikir, namun tak tahu bagaimana sakitnya dada orang lain jika ia melakukan suatu hal.

"Sayang sekali, Tuan tak memiliki hati untuk menyempurnakan aku," Shua menciptakan senyuman tipis di kedua sudut bibirnya.

Robot yang menyerupai manusia itu sempat berpikir sejenak. Bagaimana rasanya memiliki hati? Ia ingin merasakan bagaimana bahagia, hingga menangis dan mengeluarkan air mata, akibat rasa sakit memuncak di dada. Tuannya sering menangis, ketika Shua tak sengaja mendapati pria sebatang kara itu menatap bintang di balkon rumahnya. Shua bertanya. Bagaimana cara mengeluarkan air melalui mata. Dengan mantap Dikey menjawab, hati menginstruksikan perasaan sedih, namun sebelum itu, otak terlebih dulu mengirim sinyalnya.

Shua tak suka. Shua ingin memiliki hati. Ia juga ingin merasakan bagaimana denyutan ringan hingga berat bersarang di dadanya. Tapi, Tuannya menciptakan Shua dalam bentuk cacat. Sejak itu, ia jadi menginstruksikan diri agar setidaknya turut memiliki salah satu perasaan, yaitu benci.

Shua membenci Tuannya, layaknya seorang robot yang memiliki sepasang hati. Otaknya menggebu, entah pada bagian tubuhnya yang mana akan menuju. Jika manusia merasa sakit hati jika mulai marah, Shua tak bisa merasakan apa pun. Ia tak terima akan hal ini.

"Ini tahun 2119, Tuan. Harusnya kau bisa membuatkan hati untuk dipasangkan dalam tubuhku," suara lembut Shua yang memang selalu terasa lembut, menyambangi telinga Dikey.

Otak? Jangan bertanya. Bahkan negara Indonesia sendiri mampu menciptakan otak buatan, berkat kecanggihan tekonologi sekarang.

Kulit? Kalian akan tercengang, karena kulit buatan yang kemiripannya menyentuh angka 98 persen telah dijual bebas di luaran sana.

Focal Point (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang