.............
"Dek itu-" lirih Mas Ray. Aku merasakan ada pengharapan dalam panggilan mas.
"Ya?" balasku seraya mengangkat wajah menatap suamiku.
"Bisakah?" harapnya, tentu saja aku bingung maksudnya apa, terlebih lagi kulihat beliau bergerak dengan perlahan ke arahku.
Apa aku sudah buat salah?
Menunduk semakin dalam, hanya itu yang bisa kulakukan. Tidak berani menatap matanya, takut jika memang benar aku berbuat salah, bisa membuatnya semakin marah jika aku balas menatap.
Ketika raga Mas Ray sudah tepat berada di depanku, tanpa aba-aba lagi aku langsung meraih dan mencium punggung tangannya serta menangis meminta maaf.
"Ampun mas, adek salah!" Air mataku langsung mengalir deras. Sungguh takutnya jika suami marah, karena aku tahu ridho Allah terletak pada ridho suami. Ya, aku tidak sadar salahku apa, justru karena ketidaksadaranku atas salah yang telah kuciptakan itulah yang membuatku semakin salah.
"Astagfirullah dek!" Mas Ray berusaha mengangkat tubuhku yang bersikeras meminta maaf dengan memegang bahuku.
Aku menggeleng dan terus meracau meminta maaf.
"Hei, hei! Dengar, adek ga salah apapun ... dengarin mas, adek ingat malam pertama kita belum pernah ada loh dan mas-" Sontak kuangkat wajahku, berhenti berontak dan tentu saja berhenti menangis untuk sesaat kutatap manik suamiku yang tersenyum lembut penuh harapan."Astaghfirullahal'adzim, maaf mas adek lupa ... adek yang salah!" Aku kembali menangis, seharusnya aku ingat kewajibanku sebagai istri.
"Lah kok, makin nangis?"
"Harusnya begitu mandi bersih kemaren, adek langsung peka!" Entah mengapa air mataku terus saja keluar. Rasa bersalah menyelimuti hatiku.
Sedetik kemudian, tangisku mereda setelah mendengar tawa suamiku. Aku yang bingung berhenti menangis dan menatapnya.
"Mas kenapa?" bingungku.
"Udah sana, adek belum wudhu kan? Kita shalat sunnah dulu ya sayang sebelum ehm-ehmm!" pinta Mas Ray dengan sengaja terbatuk, disusul senyuman yang teramat indah. Sungguh hatiku meleleh, bukan ingin menangis lagi, tetapi langsung kupeluk raga suamiku. Rasanya bahagia sekali, Ya Allah.
Mengikuti perintahnya langsung bergerak untuk wudhu. Entah karena apa, tiba-tiba aku semangat. Tidak lama, selesai wudhu aku masuk kembali ke kamar kami.
"Eh, kok jadi mas yang nyiapin sajadah? Lebih pantas adek yang melakukannya," kagetku.
"Ya ga apa-apa atuh, mas mau manjain istri."
Kami melaksanakan shalat sunnah dua rakaat. Sangat jarang sekali kami bisa shalat berjamaah semenjak menikah. Lebih tepatnya kurang dari lima kali kami shalat berjamah berdua. Alasannya karena bagaimanapun, Mas Ray harus dan wajib shalat berjamaah ke Masjid kecuali berhalangan. Itulah gunanya aku sebagai istri untuk selalu mengingatkan, beruntung Mas Ray memahami hal itu adalah wajib.
Tidak berlangsung lama, setelah salam dan aku mencium punggung tangan Mas Ray, beliau menatapku dengan penuh cinta. Hamba meleleh lagi Ya Allah.
"Adek siap?" tanyanya, aku hanya bisa mengangguk malu. Tangannya sudah diletakkan di ubun-ubunku. Sungguh nyaman hatiku. Setelah melafazkan do'a, tangan berganti dengan ciuman menenangkan di puncak kepalaku.
"Benar siap? Kok badan adek tiba-tiba gemeteran, hmm?" lembutnya. Memang benar aku gemetar, lebih tepatnya gugup.
Hingga kurasakan desiran aneh saat tangan Mas Ray menyentuh dan menggenggam tanganku. Kuberanikan menganggakat wajah melihat suamiku. Lagi-lagi aku langsung saja terpesona dengan tatapan lembut penuh cinta walaupun berkali-kali dilihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)
RandomMemilih menikah di saat masih kuliah dan dihadapkan dengan pilihan antara mendapat IJAZAH atau malah IJAB SAH. ❗Warning INI HANYA FIKTIF BELAKA. Jika menemukan⤵️ - MASLAHAT ✔️ - MUDARAT ✖️ . . . . . . Jazakumullah khairan katsir 😊