13. Jatah

4.4K 206 3
                                    

"Terserah, biarin aja mas puasa sampe 7 bulan lagi!" ancamku. Mas Ray benar-benar menangis sambil terduduk layaknya anak kecil. Tidak tega dan kurayu akan memberikan permen agar berhenti menangis.

"Ihh engga mau! Mas maunya jatah ...," Aku pura-pura saja tidak tahu sembari terkekeh dan menyiapkan makan malam nanti. Mas Ray masih sibuk merengek dengan terduduk. Saat bolak-balik kesekian kalinya, langkahku terhenti karena Mas Ray menarik tanganku. Fisiknya yang lebih tinggi dariku, bahkan aku yang terlihat seperti anak kecil jika berdiri di sampingnya, dengan mudah menggapai tanganku meskipun beliau sedang duduk.

"Dek, mas maunya imut permen itu!" rengeknya dengan menunjuk bagian, yang kurasa bagian tubuh atasku. Segera kuangkat tangan kiri di depan tubuhku karena tangan kanan sedang ada muatannya.

"Mas! Apa-apaan sih, terlalu vulgar tau omongannya." Aku kaget sambil melotot ke arah Mas Ray.

"Biarin aja kan ga ada yang dengar juga!" belanya dengan tatapan nakal.

"Ihh iya-iya, besok InshaaAllah kita ke dokter, biar mas puas!" jengahku.

"Bukan puas lagi, dek! Tapi udah ga sabar," girangnya yang langsung berdiri dan semangat lagi.



Aku bisa apa hanya dengan ikhlas dan tentunya harus bahagia menyambut apapun keinginan suami, selama itu sesuai ajaran agama kita. Semenjak aku menyetujui inginnya, sungguh kelakuan Mas Ray membuatku hanya bisa geleng kepala. Terang saja senyuman itu tidak henti-hentinya terukir.

"Udah ah mas! Giginya sampe kering tuh senyum mulu, coba senyumnya ga pake keliatan gigi." Jujur aku sedikit khawatir Mas Ray sedang sakit, tapi sepertinya tidak.

"Mas terlalu bahagia dek, ga sabar nunggu besok!" serunya. Kalau dipikir kasihan juga suamiku. Namun, segera kukatakan kemungkinan masih belun bisa. Sontak wajahnya menjadi murung. Kudekati dan kuhibur sedikit.

"Dek, jangan mulai mancing deh! Mas bisa khilaf loh, liat adek dari jauh aja udah bikin mas panas." Mas Ray menyengir. Posisiku jadi serba salah.

***

Rumah sakit Universitas menjadi tujuan kita pagi ini, karena kami masih terhitung mahasiswa jadi tidak memikirkan biaya kalau hanya untuk periksa. Kebetulan juga hari ini kami sedang tidak ada urusan di kampus. Sebenarnya Mas Ray ada, hanya saja tidak terlalu penting katanya.

Ada baiknya juga, jadi bisa mengurangi kesempatan mbak calon pelakor itu buat melakorin Mas Ray!

"Dek, udah siap?" Aku mengangguk, terlihat semangat Mas Ray tidak surut sejak semalam.




Beruntung dokter Rumah Sakit Universitas wanita, jadi aku tidak terlalu canggung dan takut.
"Jadi, di usia ini kandungan terhitung masih lemah, jadi untuk Ibu harus ekstra hati-hati dalam melakukan sesuatu, hindari kegiatan yanv berat dan mengganggu pikiran hingga stress." Penjelasan dokter sudah sangat jelas, yang artinya Mas Ray harus sedikit bersabar lagi.

"Dokter, apa sangat tidak mungkin jika melakukan hal 'itu'?" tanya Mas Ray dengan ragu-ragu. Sempat ku sikut lengannya karena malu. Pertanyaan mas Ray disambut dengan senyuman tulus dokter, bukan senyuman geli atau menertawakan.

"Maaf ya ,Pak! Hitungan pihak kami, kedokteran. Usia kandungan istri bapak, satu minggu lagi memasuki tiga bulan walaupun masih dalam kategori rawan, sepertinya tidak masalah, tetapi kemungkinan lebih aman jika sudah di usia 4 bulan." Penjelsan dokter kali ini membuat Mas Ray berbinar. Jujur, aku sedikit khawatir. Namun, segera kuingat sisi baiknya yang bisa menyenangkan hati suami. Itu yang lebih penting, anak rezeki dari Allah. Jika memang rezeki kita, maka Allah tidak akan mencabut rezeki itu dari kita. Jika dipikir lagi, ridho Allah tergantung ridho suamiku.

***

Setelah dari rumah sakit, pihak tempat Mas Ray mengajar di sebuah bimbingan belajar menghubungi dan meminta untuk mengisi kelas. Mas Ray memintaku untuk ikut juga.

"Ray?" sapa seorang perempuan yang langsung saja membuat suasana hatiku jadi mendung dan siap-siap akan disusul dengan petir mungkin. Ya benar, dia si mbak calon pelakor.

Ngapain nih sesembak jenis ini ada di sini?! Suasana hatiku yang jadi buruk membuatku mencubit lengan Mas Ray membalas sapaannya dengan senyum manis. Rasanya tidak rela.

Apa jangan-jangan dia melakor juga di sini?
Eh, salah. Maksudnya, apa mungkin dia juga ngajar di sini?

"Loh, Kak Ina! Ngapain di sini?" tanya suamiku. Dengan tersipu malu perempuan itu menjawab bahwa dia mengisi kelas Bahasa Inggris.

"Cih! Dasar ulat bulu tidak tau malu! Jelas-jelas ada istrinya di samping, malah sibuk nebarin bulunya, gatal!" lirihkuh kesal.

"Ada apa dek?" tegur Mas Ray, kujawab seenaknya bahwa sedang sakit perut. Mas Ray tentu saja panik.

"Mas gaboleh mainnya sama ULAT BULU!" kesalku dengan suara jelas sekali. Dengan tidak tahu malunya perempuan itu tersenyum, mungkin dia tidak sadar bahwa sedang di sindir. Julukan ulat bulu kan baru terkenal setelah banyak beredar di KBM dan pelakor seperti dia mana tahu, apalagi baru balik ke Indonesia.

"Maksud kamu apa, dek?" tegur Mas Ray dengan berbisik wajahnya merasa canggung.

"Yaiyalah mas ... gatal-gatal jadinya gegara ada yang gatal sama Mas!" ucapku dengan mata yang tidak lepas memandang perempuan itu.

Kali ini sepertinya dia tersinggung, terlihat dari wajahnya menjadi datar atau kesal mungkin. I don't care, embak. Setelah itu, ia permisi masuk karena katanya ini hari pertamanya mengajar.

"Halah, sengaja banget ngajar ke sini karena tau mas di sini, jadi ya sambil menyelam keselek!" kesalku. Bagaimana sih pribahasa itu, sekali mendayuh satu dua pulau terlampaui, mungkin itu.

"Kamu apaan sih, dek ... bikin malu mas aja!" Terdengar mas Ray sedikit kesal.

"Yaudah pergi aja minta maaf, gausah peduliin istrinya ini!" Aku balik kesal dengan sikap mas Ray. Entahlah, mungkin aku yang terlalu berlebihan.

Eh bukan, perempuan itu yang terlalu gatal!

"Tuh kan, adek jadi marah ... tau ah, mas pusing!"

"..................."

÷÷÷÷÷÷÷

Bersambung,

Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang