9. Ngidam Parah!

5.8K 276 2
                                    

        Ucapan selamat datang silih berganti dari dosen kami dan dosen dari fakultas lain. Begitu juga dengan teman sejawatku. Mereka juga menunjuk istriku yang keliatan dari kejauhan sedang menangis.

Panik

Siapa yang berani membuat istriku menangis, terlebih hari ini. Saat hendak menghampirinya, salah satu dosen dan seorang laki-laki, entah dari negara mana menghentikanku. Bisa dipastikan bukan orang Indonesia asli.

"Dek Ray! Ada yang ingin bertemu." Aku menyapa orang yang dimaksud, sambil mataku sesekali melihat ke arah istriku dan teman-temannya.

"Sebentar Prof. ... tunggu sebentar aja, ada urusan sedikit." Aku tidak fokus, percuma orang yang dibawa dosenku bicara panjang lebar jika hatiku cemas. Khawatir saat melihat istri yang awalnya nangis, terus marah-marah, disusul tawa.

"Dek!" panggilku, Zia masih belum menyadari panggilanku.

Beberapa gadis itu pergi, tersisa Zia dan dua temannya. Jalanku sedikit lambat, karena terhalang kursi yang berderet dan tidak bisa dipindahkan lagi di dalam Aula

"Dek?" panggilku kembali, kedua temannya melihatku, menyapa dan mundur sedikit agar aku bisa mendekati istriku.

"Adek kenapa, hm?" bisikku dan sedikit memperbaiki khimarnya.

"Lepasin, ini semua gara-gara mas tau!" Ia menyingkirkan tanganku.

"Mas salah apa, dek?" Kutanya dengan lembut agar dia tidak semakin kesal.

"Pokoknya adek kesal!"
Kudengar kekehan teman-temanku. Entah mereka menertawakan kami atau apa aku tidak peduli.

Oh, ayolah istriku menangis dan masa bodo kalian mau menertawakanku atau apa, yang jelas kalau aku gagal menenangkan hati istriku, maka sepanjang malam aku akan 'merana'.

"Adek pokoknya mau pulang! SEKARANG!" pinta istriku sedikit kesal.

"Dek Ray, tidak apa-apa pulang saja sekarang, besok kita lanjutkan diskusinya ... kami rasa rumah tangga harus diselamatkan lebih dulu." Dosen dan beberapa temanku terkekeh.

Aku merayu Zia untuk bersabar sebentar karena aku akan mengambil perlengkapan, seperti tas, laptop dan yang lainnya. Sebenarnya sekalian ada alasan untuk pamit pulang secara remsi kepada dosen pembimbingku.

Setelah minta maaf, tidak butuh waktu lama aku menghampiri istriku untuk pulang. Mungkin, jika laki-laki lain akan merasa terbebani dan malu dengan sikap istri seperti Zia tadi. Namun, entah mengapa aku merasa harus lebih memperhatikannya terlebih lagi tadi kuliat dia menangis dan tertawa bersamaan. Jujur aku sedikit takut, tetapi setelah melihat sifat kasar dan keras kepalanya tadi, aku yakin istriku masih yang sama.

Kedua teman istriku, entah siapa namanya aku lupa. Kalau tidak salah Alifa dan Daya atau Aya yah? Mendadak aku lupa. Keduanya pamit pulang dengan motornya masing-masing. Istriku masih merajuk. Saat sudah berada di parkiran dan menyuruh Zia tidak perlu ikut, tidak sengaja kudengar sekelompok gadis seperti sekelas dengan istriku.

"Kak Ray dan Zia ada hubungan apa?" tanya seorang gadis.

"Sial! Mana perempuan nggak tau diri itu? Berani-beraninya dia mengusik milikku!" kulihat Auliya kesal dan menghentakkan kakinya geram. Ya sudahlah, aku tidak peduli dengan siapa dia kesal, toh bukan urusanku juga.

Kunyalakan motorku dan sebelum motorku meninggalkan area parkir, akhirnya aku mendengar sesuatu yang membuat Auliya sangat geram.

"Asal kalian tau ya! Sampai kapanpun aku tidak akan menerima si kutil itu jadi istrinya Kak Ray!" ucapnya dan aku langsung turun dari motor berjalan menghampiri gadis-gadis itu.

Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang