10. Datang Ses'embak'

4.8K 239 0
                                    

Dari tadi berpikir dan terus berharap hamil, tapi kenyataannya sekarang aku tidak sedang hamil. Sedih sih iya, tapi apa yang bisa kulakukan?

"Dek?" panggil Mas Ray. Kujawab sambil mata terpejam, terlalu nyaman bersandar dipunggungnya.

"Hmm ... mas pengen ngemil nih, dek!" lanjutnya.

"Mas mau ngemil apa?" Dengan malas kujawab.

"Mau snack yang biasa dibeli sama bocah-bocah itu loh, dek!" Aku bingung dan bilang tidak tahu makanan ringan itu. Mas Ray tetap merengek dan kekeh pengen makan itu.

"Ihh ayo dek, yang bunyinya kriuk-kriuk itu loh, masa adek ga tau?" Aku mengelus dada dan tidak lupa meraba kening suamiku, barangkali beliau sedang tidak enak badan.

Aku mulai jengah dan kuturuti keinginannya. Dengan syarat kita berdua yang pergi beli. Yakali, aku keluar malam-malam sendiri walaupun jaraknya antara kios dan kos kami hanya kurang lebih lima belas meter. Yang ada Mas Ray bisa nangis.

Sungguh, seharian ini beliau sangat aneh. Terkadang banyak mauna seperti anak kecil, terkadang seperti suami yang super perhatian dan dalam sehari aku menjumpai sifat Mas Ray yang terus berubah.

Apa beliau sedang sakit?

Atau apa? Entahlah.

Belum berakhir, keanehan itu makin menjadi-jadi saat kami keluar gerbang kos.

"Eh, adek hati-hati jalannya ... pegangin mas, pelan-pelan angkat kakinya kalau mau jalan itu!" Aku melongo. Sejak kapan Mas Ray mengatur cara jalanku.

"Pegang tangan mas, bila perlu peluk pinggang mas biar ga jatuh, na'udzubillah!" Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, aku hanya nurut tanpa bantahan.

Mas Ray terlalu lambat jalannya, bisa-bisa baru besok sampai kiosnya kalau begini.
"Eh! Jangan cepat-cepat atuh, slow aja ...."

"Cukup deh mas! Lebay banget deh, emang kenapa sih? Kalah jalannya putri keraton kalau selambat ini." Aku mulai jengah dan bertanya maksudnya apa.

"Maaf ya dek, mas lupa kasih tau!" Mas Ray menyengir sambil garuk kepala yang kurasa tidak gatal sama sekali. Aku mengerutkan dahi karena bingung.

"InshaaAllah ada nyawa lain di sini, jadi adek harus hati-hati," Mas Ray meraba perut datarku. Waktu seolah berhenti, ada perasaan membuncah yang ingin keluar dari hatiku. Ingin berucap, tapi kata-kata itu seolah tertahan.

Untuk sesaat, kucerna kata-kata yang diucapkan Mas Ray, "Alhamdulillah, mas!" teriakku tertahan sambil loncat-loncat dan memeluk suamiku erat sekali.

Ya Allah, aku tidak bisa melukiskan bagaimana lagi perasaanku saat ini. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah.

"E-e, jangan loncat-loncat!" hardik Mas Ray yang langsung menghentikan euphoria-ku. Aku meminta maaf, kuciumi pipi suamiku berkali-kali dengan berjinjit sedikit.

Euphoria-nya dihentikan sebentar, karena Mas Ray merengek kembali ingin makanan ringan yang terkadang jika kulihat dimakan oleh anak kecil yang terlewat dari pantauan orang tuanya, misalnya anak sekolah dasar bisa membuat lidahnya berwarna entah merah, kuning, hijau di langit yang biru. Ayolah Zi, kenapa malah nyanyi.

Namun, itu dulu sewaktu aku masih SMP dan sekarang para orang tua, terlebih lagi seorang ibu sangat hati-hati dengan apapun yang masuk ke tubuh buah hatinya. InshaaAllah aku juga akan merasakannya. MashaaAllah senangnya.

÷÷÷÷÷÷÷

'Oleh-oleh' yang kami bawa, lebih tepatnya Mas Ray bawa dari kios ada satu tas plastik ukuran besar. Isinya makanan ringan dengan harga lima ratus rupiah satu bungkusnya.

Diperjalanan kami bak menikmati berkencan. Jarak lima belas meter serasa satu kilo jauhnya, bedanya tidak lelah karena sambil bercanda.

Sesampainya di kos, kulihat seorang duduk di berugak kos entah siapa, wajahnya seperti pernah kulihat. Namun, aku lupa itu kapan. Dikarenakan masih jam setengah sembilan, jadi waktu bertamu di kos saat malam hari masih ada sampai jam sepuluh malam.

"Hei, Ray!" serunya saat kami sudah mendekati berugak. Kutatap Mas Ray dengan heran.

"Loh, Kak Ina?" lirih Mas Ray. Setelah memutar kembali ingatanku, dia adalah kakak tingkat Mas Ray dulu waktu mengambil S1-nya. Waktu itu aku mahasiswa baru, jadi tidak terlalu kenal. Mas Ray semester lima dan perempuan itu semester tujuh kalau tidak salah. Artinya benar.

"Mas, adek masuk kamar aja ya, sekalian bawa belanjaannya ini!" Kuraih tas plastik belanja dan melenggang pergi setelah permisi pada tamu Mas Ray.

"Eh- itu siapa, Ray?" Kudengar perempuan itu bicara dan sepertinya yang dimaksudkan itu aku. Kubuka pintu kamar perlahan dan terdengar Mas Ray terkekeh, disusul perempuan itu.

Ah! Mereka ketawain apa sih?

Jiwa kepo-ku membeludak! Pelan-pelan kuintip mereka dari celah gorden.

Tuh kan! Mas Ray ketawanya santai amat, aku tidak pernah lihatnya kayak gitu.

Atau jangan-jangan mereka ngetawain aku lagi. Mas Rau tega ... kejam!

Tanpa sengaja kutarik gorden sampai berbunyi 'krekk!'
Aku kaget, panik! Kulihat kedua manusia di berugak itu menoleh ke arah kamar kami.


Rayyan (POV)

Ini bisa dikatakan tanpa rencana. Aku kedatangan tamu. Seorang perempuan, dia Irasarlina yang biasa kupanggil dengan Kak Ina. Kuingat bagaimana dulu waktu aku sedang S1 pernah dekat dengannya, tetapi tanpa hubungan apapun hanya sebatas kakak dan adik tingkat di kampus. Dia sibuk dengan skripsinya dan aku sibuk dengan PKL-ku. Bertepatan dengan itu, hadirnya seorang gadis. Dia mahasiswa baru yang sekarang sudah resmi menjadi istriku.

Eh! Zia?

Hatiku tercekat, kuingat dengan jelas istriku pamit duluan ke kamar. Namun, candaan Kak Ina dan nostalgia kita membuatku sesaat lupa. Hingga-

'Krekk!'

Aku menoleh ke arah kamar. Kaget? Tentu saja.

Maafkan mas, dek! Panikku dan bilang ke Kak Ina untuk ke kamar dulu.

"Dek?!" panggilku dan kulihat Zia berbaring dengan selimut menutupi tubuhnya.

"Dek, kamu kenapa?"

"Eh, mas ada apa?" Istriku membuka selimut yang menutupi kepalanya dengan napas memburu.

"Adek kenapa? Adek sakit?" panikku.

"Heheh, ga ada apa-apa, mas! Cuma pengen latihan nahan napas kali aja nanti bakalan dapat beban berat." Aku mengerutkan dahiku, bingung.

Maksudnya apa?

"Bener ga apa-apa?"

"Iya, mas! Pergi aja sama tamunya sana," Kulihat senyumnya aneh seperti dipaksa.

"Adek lagi latihan ikhlas, mas! Ternyata susah!" lirihnya, aku bingung dan hendak bicara lagi malah diusir pergi, katanya tidak baik meninggalkan tamu sendiri.

Kutinggalkan istriku yang kembali menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Ada apa? Ada masalah?" tanya Kak Ina setelah aku kembali duduk di berugak.

Aku menggeleng dan tersenyum. Kembali Kak Ina antusias untuk bicara, hatiku jadi bercabang karena khawatir dengan istriku.

Tidak lama kemudian, kudengar istriku teriak.

"Ihh apa lagi sih? Ganggu aja deh!" lirih Kak Ina yang bisa kudengar. Namun, bukan itu yang penting sekarang. Istriku.

"Udahlah Ray, aku pulang aja! Besok aku datang lagi," ucap Kak Ina. Aku tidak mengangguk ataupun menggeleng. Dalam hatiku menyuruhnya cepat pulang, agar segera kulihat keadaan istriku.



++++++++++++++++

Bersambung,

Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang