Ina dan empat orang mengekor menuju rumahnya sesuai kesepakatan. Lebih tepatnya, itu ide jahilnya Zia yang ingin rasanya ia mengajak teman sekampusnya untuk datang sarapan ke rumah perempuan yang ia sebut bibit pelakor.
"Kenapa sih Dika ga ikut aja? Kan lumayan godain si Ibu itu ... hihihi," bisik teman Zia, Aini dan Mila.
"Pasti ga mau lah, kan Dika punya pacar semok kalau dia macam-macam ga akan dikasih jatah." Keduanya tidak sengaja tertawa keras, membuat Ina menoleh dengan wajah kaget dan bingung.
Terlihat lebih kaget dan kesal yang melihat Zia merangkul lengan Ray dengan mesra, tak lupa tangan Ray yang sedari tadi berada di perut datar Zia. Semakin gerahlah Ina.
.
.
."Ayo masuk, bibi tadi sudah masak loh Ray, makanan kesukaanmu itu loh--Opor ayam--!" girang Ina. Zia menaikkan alisnya sebelah.
"Ibu ga tau ya? Kan SUAMI saya sudah tidak suka dengan makan itu, bikin opname aja!"
Dengan wajah kaget, Ina hendak mendekati Ray karena khawatir. Namun, sayang niatnya terhalang karena tatapan horror dari Zia.
"Masa sih Ray?" kagetnya.
"Bodo!" lirih Zia dengan tetap tersenyum, disusul dengan tawa tertahan Aini dan Mila.
"Yaudah ayo, kita ke ruang makan!" Kelima manusia itu menuju ruangan yang disebut ruang makan.
Di atas meja makan, sudah tersedia berbagai macam hidangan. Ina pun mempersilahkan tamu yang tidak diharapkannya untuk duduk. Ya, hanya Ray tamu yang ia harapkan.
"Ini sarapan satu orang atau hajatan satu kampung? Banyak bener," bisik Mila. Zia mengangkat bahu dengan acuh.Ina yang duduk di kursi utama, meminta Ray duduk di kursi sebelahnya.
"Ray, aku taro nasimu sebagaimana?" Perempuan itu segera mengambil nasi hendak dituangkan di piring Ray."Ekhm, Mas! Minum air dulu kan? Nih!" tegur Zia sembari menyodorkan segelas air. "Iya dek." Kini Ray fokus dengan Zia, memperhatikan segala gerak-gerik istrinya mengambil makanan dengan telaten sambil tersenyum.
"Ih, so sweet sekali kalian ... ah, jadi kebayang di antara kalian ada anak kecil yang manggil 'Umi, Abi mau makan!' terus kalian suapin, romantis banget," binar Mila dan anggukan Aini. Ina yang notabennya adalah pemilik rumah, seakan menjadi tamu. Ya, tamu di rumah sendiri.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Ina memilih sarapan. Semuanya hambar, hanya kekesalan yang ada. Terbukti, seolah ia sedang bertarung dengan piring dan sendok yang saling sahut dengan nyaringnya.
"Non, mau saya ambilkan sekarang makanan penutupnya?" bisik Bibi yang membantu di telinga Ina.
"Ga perlu!" Nada suara Ina seperti membentak ditambah lagi suara piring yang ia pukul dengan sendok, membuat semua mata tertuju padanya.
"Eh, ga usah, bi! Ambilkan air dingin aja, soalnya cuaca pagi ini panas banget deh." Nada bicaranya tiba-tiba menjadi lembut dengan senyuman.
"Loh, dingin? Padahal kan ada AC," gumam Aini yang membuat Ina salah tingkah.
'Dasar, bilang aja mau caper sama suamiku! Bibit pelajor kok dipelihara,' batin Zia. Namun, tatapannya terukir senyuman dan tetap memamerkan kemesraan dengan suaminya.
"Zi, bukannya kamu sendiri yang bilang, kalo mesra itu jangan lebay juga kali, nanti kalo tiba-tiba muncul pelakor gimana?" tegur Aini.
"Nah itu, aku juga setuju dan yang pasti aku ga mungkin jadi duri kalian Zi, suerrr!" timpal Mila.
"Heheh, maafin teman-teman saya ya, bu! Mereka omongannya suka ga dijaga." Zia membela teman-temannya dengan tatapan merasa bersalah, padahal dalam hati ia tengah bersorak. Melihat wajah kesal Ina membuatnya merasa puas.
"Dek!" tegur Ray dengan berbisik, ia merasa tidak enak dengan perlakuan istrinya dan yang lain, terlebih karena mereka seperti sengaja mempermalukan perempuan itu di dalam rumahnya sendiri.
***
Hampir satu jam mereka menghabiskan sarapan dadakan yang lebih terlihat sebagai ajang untuk mempermalukan Ina di rumahnya sendiri. Waktunya kembali ke tugas, lagipula terlalu lama membuat Dika menunggu.
"Mas pulang aja, kasihan nunggu di sini sendiri," ucap Zia sembari merapikan baju suaminya yang sedikit berantakan.
"Ihh engga, mas mau nungguin adek sampe pulang,"
"Tapi mas sendiri loh di sini!"
"Ya gapapa, kan bisa main game." Zia mengalah dan menuju balai penelitiannya.
Baru saja Zia melewati pintu, Ray mengejar istrinya.
"Dek, gimana dong? Mas ga mau sendiri, nanti kalo kak Ina datang, adek pasti marah sama mas." Terlihat jelas wajah Ray mengkhawatirkan perasaan istrinya.Zia menghela napas dan tersenyum, "Mas, InshaaAllah adek yakin kok kalo mas ga akan macam-macam ... toh, kalo misalnya mas kayak gitu, kan itu urusan mas dan Allah, tunggu aja nanti!" ancam Zia dengan menyeringai.
"Iya-iya engga kok!"
"Mas kan paham, menyakiti hati istri apalagi tidak bersalah bisa membawa kemurkaan Allah, kalo ga percaya ya mas coba aja!" Ancaman Zia semakin membuat Ray bergidik ngeri.
"Pokoknya adek yakin aja, mas InshaaAllah ga akan kayak gitu, ga ada niat sama sekali!"
"Kalo ada kesempatan, gimana?" Zia terkekeh, kemudian mengangguk. Tidak lama kemudian, Ray keluar balai. Benar saja, kekhawatiran Ray terjadi. Perempuan itu terlihat mendatanganinya.
"Ray!" panggilnya kegirangan ditambah dengan berlari ala film India.
"Kajol bukan, Preety Shinta kagak cocok ... aku beneran jijik, kak!" Ray bergidik ngeri.
Mengingat bahwa Ray pernah menaruh hati dengan perempuan itu, membuatnya sangat menyesal. Terlebih lagi sebulan sebelum kepulangan Ina ke Indonesia dari luar negeri, beredar kabar bahwa orang tua perempuan itu yang adalah anggota dewan daerah dari Fraksi Partai Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh atau biasa disebut dengan Partai BKTBKR, melakukan penyelewengan dana operasional pembangunan keluarga sejahtera.
Hal itu Ray simpan sebaik mungkin, padahal itu sudah menjadi rahasia umum. Namun, ia tidak ingin istrinya tahu, karena khawatir jika istrinya sampai tahu, bisa jadi akan menggerakkan emak-emak penghuni KBM untuk demonstrasi, menuntut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Ray, kita keliling rumahku, ayo!" Kini Ina telah berdiri di depan Ray sekitar dua meter.
"Keliling? Buat apa?"
"Ya kali aja kan kamu jadi tertarik buat tinggal di sini nanti,"
"Terus?"
"Ya, jadi aku ga kesepian tinggal di sini karena kamu ... oiya, kamu juga bisa mengajak Zia jika ingin tinggal di sini," ucap Ina dengan santai
"Mengajak?" Seketika wajah Ray merah padam. Tanpa bicara lagi, ia berbalik dan berjalan ke arah balai.
"E-e-eh Ray! Kamu mau kemana?" Sesaat kemudian ia tersadar dengan ucapannya baru saja. Ia langsung mematung atas apa yang dilakukannya. Menganggap Ray masih memiliki perasaan yang sama seperti dulu kepadanya.
"ZIA!" teriakan Ray terdengar sangat geram.
"Dek, ayo pulang, kita tidak pantas ada di sini!" Ray menarik tangan Zia, suaranya yang penuh emosi sampai terdengar oleh Ina yang semakin membuat tenggorokannya tercekat.
"Mas kenapa? Ada apa?" Zia terkejut dengan tarikan suaminya.
"Ray! Maaf, aku salah bicara tadi …," Air mata Ina menganak sungai. Memohon maaf dari Ray yang sudah terlanjur emosi. Suami mana yang tidak marah, jika ada yang menganggap istrinya seolah-olah sebagai parasit. Ucapan Ina tadi adalah penghinaan untuknya.
"Kamu dihina, dek!" Emosi Ray masih berapi-api.
÷÷÷÷÷÷÷
Bersambung,
KAMU SEDANG MEMBACA
Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)
RandomMemilih menikah di saat masih kuliah dan dihadapkan dengan pilihan antara mendapat IJAZAH atau malah IJAB SAH. ❗Warning INI HANYA FIKTIF BELAKA. Jika menemukan⤵️ - MASLAHAT ✔️ - MUDARAT ✖️ . . . . . . Jazakumullah khairan katsir 😊