14. (Gara-gara) Keguguran

4.5K 207 3
                                    

"Tuh kan, adek jadi marah ... tau ah, mas pusing!" Kali ini kepalaku benar-benar pusing, dengan apa yang istriku lakukan. Jujur aku sangat malu dengan Kak Ina, terlebih lagi kulihat wajahnya jadi merah setelah disindir oleh Zia.

Tanpa menoleh, aku masuk ke dalam ruangan. Tidak tahu mengapa, ini pertama kalinya aku kesal dengan istriku. Ia terlalu berlebihan, lagipula perempuan itu juga kenapa harus seperti tadi yang bisa membuat istriku jadi salah paham.

"Mas, maafin adek!" lirih istriku sembari menarik sedikit lengan bajuku dari belakang. Terdengar penyesalan darinya, tanpa kulihat langsung wajahnya. Namun, sebenarnya aku sedang mengerjainya agar ia merasa aku sedang marah, padahal sekarang aku tengah tersenyum. Hanya saja tidak ada waktu untuk bermesraan di sini karena tempat umum.

"Ga perlu ikut masuk, tunggu aja di situ!" titahku tanpa melihatnya langsung, kulihat lewat ekor mataku Zia tengah menunduk dan mengangguk dengan patuh. Kurasa istriku tengah menangis dalam diam, terdengar isakan kecil.

'Maafin mas, dek! Sebentar ya, mas ngajar dulu ga lama kok,' batinku. Entah mengapa aku terlalu gengsi untuk bicara langsung, mungkin karena aku ingin mengerjainya pura-pura sedang marah. Lagipula kalau dipikir lagi, istriku wajar seperti itu karena Kak Ina terlalu berlebihan padaku padahal tahu aku sudah menikah.

Aku mengisi kelas selama satu jam. Membimbing adik-adik yang akan melaksanakan Ujian semesternya, rasanya seperti satu minggu. Entah mengapa aku cemas memikirkan istriku. Sempat ku berdiri di ambang pintu ruang les, dan kulihat istriku tengah terduduk, entah apa yang dipikirkannya karena wajahnya terlihat pucat.

"Ah, mungkin karena kulihat dari jauh jadi ga jelas!" lirihku bersamaan dengan itu siswa yang kuajar memanggilku. Meskipun sedikit cemas, ku semangati diri setengah jam lagi.

*

"Alhamdulillah!" Kuembuskan napas lega, akhirnya selesai. Kelima siswa itu berpamitan, segera kutemui istriku dan ingin meminta maaf karena tadi mengabaikannya. Kulihat Zia masih menunduk di meja tunggu. Pasti sangat lelah menunggu, apalagi duduk sendiri.

"Dek," kusentuh bahu istriku sembari kugoyangkan sedikit. Tidak ada reaksi.

"Dek, jangan bercanda! Astaghfirullahhal'adzim ...." Tanpa pikir panjang lagi kuangkat tubuh istriku, beruntung rekan kerjaku yang mempunyai mobil melihat dan menawarkan diri mengantar kami.

Tunggu dulu!

Basah?! Astaghfirullah, kurasakan bagian bawah gamis istriku sedikit basah. Tatapanku menjadi buram, rasanya air mara hendak tumpah yang berkumpul di pelupuk mata.

"Astaghfirullahhal'adzim!" Air mataku menganak sungai. Kami sudah di dalam mobil ke rumah sakit.

"Mas Ray, ada apa? Istrimu tadi kenapa? Kok sampai pingsan?" tanya Mas Danu, pemilik mobil dengan cemas. Aku tergugu, hanya air mata yang mewakili perasaanku. Kupeluk erat istriku yang tidak sadarkan diri. Sesekali kutatap tanganku yang dipenuhi darah.

"Ya Allah, ampuni hamba! Astaghfirullahhal'adzim," sesalku dan Mas Danu yang tengah menyetir sesekali menoleh dengan wajah khawatir melihatku.

Penyesalan terus datang. Sengaja membuat istriku merasa bersalah, itulah kesalahanku. Tidak sadar bahwa ia ternyata sedang kesakitan. Kupinta Mas Danu untuk mengebut, kalut menyelimutiku. Hingga kurang lebih sepuluh menit, kami sampai di rumah sakit.

Mungkin sekarang penghuni rumah sakit menatapku dengan prihatin atau mungkin mencibir karena melihatku menangis tiada henti. Aku tidak peduli, bahkan aku menangis sembari memeluk Mas Danu. Itu jauh lebih baik ketimbang aku memeluk seorang wanita. Walaupun bukan seorang Ustadz, Mas Danu memiliki pengetahuan agama yang cukup. Aku ditenangkan dan beliau menyuruhku tetap beristighfar memohon ampunan, mengatakan bahwa semua yang terjadi atas kehendak Allah.

Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang