8. Bertukar Peran

6.3K 286 2
                                    

"Tunggu dulu!" Suara yang kukenal. Suaranya Mas Ray.

"Dek, nanti engga apa kan pulang sendiri, soalnya mas mau bantu proyeknya Pak Markum,"

"Selesainya kapan?"

"InshaaAllah nanti siang selesai kok ... oiya sekarang mau kemana?"

"Mau ke Masjid, mas!" Aku tahu ada perubahan di wajah Mas Ray saat melihatku murung.

"Kenapa, hmm?" Aku masih terdiam.
"Jujur ... terus itu si siapa teman adek itu, kok jauhin adek?"

Aku menceritakan semua masalahnya ke Mas Ray, sekaligus aku meminta izin untuk mengaku pada teman-temanku. Bukannya melarang, Mas Ray malah mendukungku melakukannya. Beliau sendiri mengaku belum memberitahukan kepada orang lain bahwa kita sudah menikah karena ingin menjaga perasaanku.

Perasaan lega menyelimutiku, sekarang hanya mencari cara bicara baik-baik dengan Alifa agar ia tidak bertambah marah. Kucium punggung tangan suamiku takzim seraya pamit ke masjid.

"Dek!" Aku berbalik dan Mas Ray berlari kecil ke arahku.

"Kenapa mas? Ada yang lupa?" tanyaku memastikan.

"Hmm, jangan sampe capek ya!" Aku mengangguk, "jangan pulang setelah maghrib," tambahnya. Aku kembali mengangguk dan menunggu karena sepertinya Mas Ray ingin bicara lagi.

"Masih ada lagi, mas?" tanyaku memastikan. Mas Ray seperti menimbang hendak berkata apa, wajahnya terlihat malu.

"Jangan lama pulang, nanti malam lanjut lagi yaa?" bisiknya. Aku bingung dengan mengerutkan dahi. Mas Ray tersenyum sambil menaikkan satu alisnya.

"Ihh mas!" Aku tersipu malu tersadar dengan maksud Mas Ray, mungkin wajahku sudah merah merona, "InshaaAllah begitu selesai adek langsung pulang,"

Mas Ray hendak mencium keningku. Namun, diurungkannya karena di tempat umum dan hanya menggenggam tanganku erat.

Saat berbalik, kulihat Alifa yang langsung berbalik membelakangiku dengan wajah sangat kecewa. Entah apa lagi yang ia pikirkan lagi kali ini, kemungkinan semakin tinggi prasangka buruknya.

                                    ***

        Awal semester menjadi waktu sibuk untuk beberapa mahasiswa yang tergabung dalam beberapa organisasi mahasiswa. Salah satunya LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di mana aku bergabung dan ditunjuk sebagai Koordinator Perempuan untuk Fakultas-ku.

Sebagai Koordinator Perempuan di LDF (Lembaga Dakwah Fakultas) aku disarankan ke Masjid mengikuti penerimaan anggota baru adalah LDK. Begitu juga dengan Alifa dan Hidayah. Kami tidak masuk kelas selanjutnya karena dosennya izin tidak masuk, hari atau minggu pertama kuliah setiap ajaran baru sudah menjadi kebiasaan beberapa dosen untuk tidak masuk.

Seringnya tanpa alasan yang jelas, tetapi kami sebagian kecil mahasiswa mengerti kerena mereka para dosen juga butuh sedikit tambahan waktu istirahat dengan keluarga, terlebih lagi kali ini bersamaan dengan libur puasa dan lebaran. Namun, untuk tidak sedikit mahasiswa yang sampai berkata kurang pantas karena merasa sudah membayar kuliah dengan mahal untuk dosen yang mangkir dari kewajibannya. Sungguh miris kudengar, tetapi selain itu, beberapa mahasiswa malah sangat senang dan berharap dosennya tidak masuk saja selama sebulan lamanya.

Aku dan anggota lain dari berbagai Fakultas berkumpul di masjid untuk menyambut anggota baru LDK.

Sesampainya di Masjid, Salwa mengahampiriku mungkin karena melihat Alifa dengan wajah yang tidak bersahabat terlebih lagi, kita tidak datang bersama padahal se-fakultas.

"Ukhti, Alifa kenapa? Kalian marahan?" bisik Salwa, aku mengangguk lemah.

"Kenapa?" herannya, aku menggeleng. Biarlah nanti aku sendiri yang mengatakan pada Alifa jangan sampai dia dengar dari mulut orang lain. Hanya butuh waktu yang tepat saja dan mengabaikan kebingungan Salwa.

Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang