"Mas, kita mau ke mana?" protesku, ketika Mas Ray menyalakan motornya.
"Kan mau ke rumah sakit, dek!"
"Tapi adek ga lagi sakit, mas!"
"Tadi kan adek muntah-muntah,"
"Ya kan cuma pura-pura," ucapku pelan dengan menunduk.
"Siapa suruh pura-pura gitu, mas kan jadi parno ... pokoknya kita harus periksa, ayo naik!"
"Yaudah iya, asal mas jangan nitipin adek ke tukang loak ya, mana laku!"
"Ya memang ga akan mungkin laku, kan sudah dipatenkan jadi hak milik mas di dunia ini,"
"Idih, curang!"
"Biarin, malah InshaaAllah sampai akhirat nanti, aamiin."
***
Tanpa pertimbangan lagi, kubawa istri menuju rumah sakit terdekat. Rumah sakit Universitas. Alasannya, pertama karena jaraknya yang dekat, kedua karena kami bisa menghemat. Mumpung masih jadi mahasiswa, bisa gratis periksa. Sesampainya di bagian pendaftaran, kami diarahkan menuju Dokter Umum.
Sampai ruang pemeriksaan dokter umum, kami dihadapkan dengan tatapan bingung dari dokternya. Namun, itu tidak lama karena mungkin beliau berpikir kami sama seperti sepasang mahasiswa lain juga sering mengantar kekasihnya atau teman untuk periksa dan berobat.
Tapi, maaf bu dokter! Itu salah besar.
Kami tidak seperti mereka, wanita di samping adalah istriku tercinta. Agar lebih meyakinkan, aku langsung bersuara. "Saya ini suaminya loh, dokter!" Kurasa Dokter masih tidak langsung mempercayainya, terbukti kami kembali ditatap secara bergantian. Istriku kemudian turun tangan memberi isyarat bahwa yang kukatakan itu benar.
Bu dokter sih, ngeyel ga percayaan!
Setelah diperintah untuk berbaring, istriku mulai diperiksanya.
"Mohon maaf, untuk kasus ini akan lebih baik ditangani oleh dokter yang sesuai ... saya akan meminta perawat untuk mengantar anda," jelas Dokter tersebut. Zia mengangguk. Sedangkan, aku kebingungan dengan maksud dokter.
Baiklah, hanya mengikuti perintah dokter apa salahnya?
*
Kami dipandu oleh seorang perawat yang baru saja berbicara dengan dokter, pakai bahasa isyarat kurasa. Hanya bagian kedokteran dan jajarannya yang memahaminya.
Ketika sampai depan ruangan, berkali-kali kukedipkan mata. Tanda di pintu jelas-jelas tertulis,
DOKTER KANDUNGAN
dr. Ninda Arini, Sp.OG.Lah, istriku sakit apa memangnya?
Apa jangan-jangan?Mataku sesaat berbinar. Namun, segera ber-istighfar, "Astaghfirullahhal'adzim." Tidak ingin kejadian sebelumnya terjadi, khawatir jika Allah marah lagi kali ini.
Begitu masuk ruangan serba putih itu, kami langsung disambut dengan keramahan dokternya.
"Perkenalkan, saya Dokter Ninda ... dengan Ibu siapa?" tanya dokter dengan ramah."Zia, dok!"
"Saya suaminya, dokter!" sahutku tanpa ditanya. Aku tidak ingin orang berpikir negatif tentang istriku, terlebih lagi wajahnya yang terlihat masih belia seperti anak SMP, padahal usianya sudah kepala dua. Jangan sampai aku dianggap Om-nya atau lebih parah lagi dianggap bapaknya Zia.
"Jangan sampai juga dikira aku nikahin anak SMP lagi!" gumanku, dengan mata yang tidak lepas dari istriku yang mulai diperiksa dan tentu saja tetap memasang senyuman ramah. Dokter memang baik hati.
Mungkin sekitar kurang dari sepuluh menit, dokter menghampiriku bersama dengan Zia yang sudah selesai diperiksa.
"Alhamdulillah, selamat ya Pak-Bu! Usianya diperkirakan memasuki minggu ke-4, awalnya memang sedikit susah diperiksa tanpa alat karena usianya masih sangat muda," ucap Dokter Ninda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)
RandomMemilih menikah di saat masih kuliah dan dihadapkan dengan pilihan antara mendapat IJAZAH atau malah IJAB SAH. ❗Warning INI HANYA FIKTIF BELAKA. Jika menemukan⤵️ - MASLAHAT ✔️ - MUDARAT ✖️ . . . . . . Jazakumullah khairan katsir 😊