15. Kurang Peka

4K 182 3
                                    

"Mas, mau buka usaha apa? Kita kan belum punya biaya sekarang dan ...," Ucapanku terhenti karena Mas Ray menatap dengan tajam.

'Ya Allah, Zi takut ... maaf mas!'

Mas Ray tidak pernah seperti ini, apa mungkin karena musibah keguguran itu?

'Ya Allah, Zi juga tidak menginginkan musibah ini, mas ... maafin adek!' raungku dalam diam.

Baiklah, kurasa satu-satunya cara ya aku harus maju duluan.
"Hmm, mas! Bagaimana ka-kalo ki-kita ikhtiar lagi ... lagipula dokter bilang rahim adek baik-baik aja kok, Alhamdulillah." Kusampaikan hal tersebut, meskipun sangat malu tidak apa-apa lah. Hitung-hitung menenangkan hati suami.

Kuangkat wajah dan terlihat Mas Ray mengembuskan napasnya. Entah masih kesal atau apa.

"Zia! Istriku sayang ... InshaaAllah istri dunia-akhirat mas, kan tadi mas juga bilang gitu," ucap Mas Ray yang membuatku mikir, memangnya mas Ray tadi bicara seperti itu? Aku tidak ingat deh.

"Emang mas ngomong gitu?!" lirihku, kembali menunduk takut.

"Astagfirullahhal'adzim, gemesin banget sih kamu, dek!" Mas Ray mencubit pipinya dengan semangat, masih dalam kategori lembut sih.

"Kenapa mas ga bilang kalo kepengen? Kan adek jadi bingung tadi ... pake kode segala lagi, tau kan adek payah dalam hal mengartikan kode!" protesku dengan memajukan bibir. Sontak kedua tangan mas Ray menangkupkan kedua pipiku dan beda kenyal tanpa tulang itu mendarat indah di bibirku.

Eh, tunggu!

Kenapa tiba-tiba udaranya jadi panas, ya? Huft!

"Dek!" lirih Mas Ray masih di depan wajahku. Jarak wajah kami sangat dekat, sampai bisa kurasakan deru napas hangatnya. Aku merasakannya karena mataku yang sontak terpejam saat kelembutan itu diberikan. Kujawab panggilannya dengan bergumam.

"Mas, sudah bisa buka puasa kan sekarang?" pintanya dengan sangat lembut, aku terbuai dan mengangguk dengan perlahan.

***

Hari-hariku selama seminggu ini dihiasi dengan senyuman, bahkan teman-temanku sempat merasa heran dengan diriku yang selalu bersemangat seminggu terakhir ini. Kebahagian suami adalah kebahagian istri. Aku ingat mas Ray selalu bersemangat dan mengatakan tidak harus 'berpuasa'.

"Oiy Zi, aku bakalan merindukanmu ... tiga bulan sangat lama tau!" rengek Alifa membuyarkan lamunanku. Merengek karena lokasi PKL-ku berubah, lebih tepatnya kuubah. Padahal sebelumnya, aku dan Alifa berencana untuk PKL di tempat yang sama.

"Kan bisa saling kabarin lewat telpon, kita bisa video call nanti." Terlihat kekecewaan dari wajah Alifa. Namun, harus bagaimana? Aku harus patuh dengan suamiku. Ya, walaupun Mas Ray tidak pernah meminta, tetapi kan aku sebagai istri harus mendahulukan suami.

"Ingat ya, kalo tiba-tiba sesembak muka tembok itu kumat melakorin husband-mu ... segara kabarkan kita, biar Plan B bisa kita luncurkan!" seru Alifa.

"Plan B?" Jujur aku sedikit khawatir jika mereka berbuat aneh-aneh dan mengingatkan untuk tenang saja karena aku tidak ingin membahayakan diri dan masa depan mereka mungkin.

"Plan B itu, B = Bersama-sama kita jambak tuh sesembak!" Keduanya kompak, Alifa dan Aya. Ada-ada saja mereka.

Aya si gadis pendiam yang tidak terlalu banyak bicara seperti Alifa. Kali ini menasehatiku, "Intinya, jangan sampai kamu beri celah sedikitpun buat 'embah' pelakor itu?" Kami berdua menatapnya, bingung karena kata 'embah'.

"Ya, pelakor itu sejatinya adalah embah-embah yang tua renta, butuh kasih sayang dan memilih jalan kejam di dunia kepelakoran!" Jujur aku tercengang. Sejak kapan sahabat shalihahku bisa merangkai kata se-aneh itu.

Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang