20. Kelahiran Semuanya

7.3K 287 20
                                    

………

"Ihh, terus nanti judulnya kita nikah apa dong?" ucap istriku yang tengah merasa nyaman menarik jenggot tipisku, biarkan saja lah yang penting ia senang.

"Kan usia kita memang masih muda, dek." Kujawab saja sekenanya, filmnya lagi seru.

Sesaat kemudian, wajahku diputar oleh istri untuk menghadapnya yang tengah memajukan bibirnya lima centi. Hahah, tandanya ia sedang ngambek kalau begitu.

"Mas! Kata teman-teman karena kita nikah saat masih kuliah, mereka nyebutnya kita nikah muda ... lah terus kalo sudah wisuda, mereka bakalan nyebut kita apa dong?"

"Ya Allah, dek-dek terus ngapain pusingin mereka mau manggil kita apa? Usia kita itu masih 20-an ya wajar dong dikatain nikah muda, emang mau disebut nikah tua? Terus nanti kalo InshaaAllah kita diizinkan hidup sampe di atas usia 50 tahun, disebutnya nikah tau renta gitu? Ihh gemesin banget sih kamu, sayang!" Kembali kucubit pipi tembem isteriku.

"Euh ukan itu huga, mas!" Lucu juga suara istriku saat kucubit pipinya begini sambil ia bicara, seperti balita yang sedang belajar bicara.

***

Tiga minggu yang lalu aku sudah menerima keputusan waktu wisuda dan Alhamdulillah sesuai rencana aku wisuda bersama dengan istri tercinta. Bukan sekarang, bulan depan waktunya.

"Mas, tadi sewaktu mas pergi ngajar Mama tuh hubungi adek, eh ga lama kemudian Umi juga ... emang dasar besan kali ya, jadi kayak janjian gitu nelponnya." Kulihat ia dengan seksama dan seperti antusias dengan beritanya. Maklumlah, istriku mudah merajuk kalau sedang bicara tidak diperhatikan. Untung aku suami perhatian.

"Terus kata mereka apa, dek?"

"Mas lupa ya, Mama dan Umi itu sengaja nelpon soalnya kan mau datang,"

"Lah, datang ke mana? Ke sini?" Zia mengangguk.

"Ngapain, dek?"

"Ya Allah, mas! Kan kita mau wisuda,"

"Lah, kan masih bulan depan, dek!"

Tiba-tiba istriku berdiri dan berjalan seperti hendak mengambil sesuatu. Lucu sekali ia berjalan sambil memegang perutnya yang sekarang kira-kira sudah berusia kalau tidak salah enam bulan. Eh, sepertinya sudah lebih 6 bulan deh. Alhamdulillah, ada calon anak kami loh di sana.

Eh, dia kembali dengan sesuatu ditangannya.
"Nih, mas lihat baik-baik ... minggu depan sudah masuk bulan depan!" Kuambil sebuah kalender kecil ditangan yang ia bawa tadi.

Oh iya benar, aku baru sadar minggu depan itu kami akan wisuda!

"Heheh ... mas lupa dek,"

"Belum jadi bapak-bapak beneran aja udah pikun!" Kulihat istriku mulai cemberut. Sudah biasa sih, sejak istri hamil suasana hati istriku mudah berubah-ubah. Kata rekan kerjaku di bimbel yang kebetulan memang sudah lama menikah, wajar katanya seperti itu untuk bumil.

Aku tidak menceritakan masalah keluargaku, kebetulan saja waktu itu wajahku mereka lihat kelelahan dan bertanya. Kujawab saja singkat, istri lagi ngidam. Alhasil, aku ditertawakan.

"InshaaAllah kan calon bapak eh calon Abi," kucubit hidung istriku dengan lembut, ia kembali tersenyum. Lebih tepatnya tersipu malu.

"Tapi jangan pikun-pikun dulu kali, mas! Masa nanti adek dan InshaaAllah cinta kita sudah hadir, mas sampai lupa taro di mana ... kan keterlaluan itu,"

"Setdah, yakali kalian barang main taro-taro aja sembarang tempat gitu!" Pura-pura saja kukesal, ingin melihat reaksi istri.

"Eh becanda atuh, masku!" Berhasil karena Zia memelukku, dikira benar-benar sedang marah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ijazah atau Ijab Sah (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang