Aloha! 😉
***
Jungkook berjalan menyusuri trotoar yang sudah lumayan sepi. Tentu saja, ini pukul sembilan malam, cukup malam.
Pemuda itu menghela napas berat beberapa kali seolah habis memindahkan Gunung Fuji ke atas Namsan Tower. Bukan salah Jungkook juga sebenarnya, harinya cukup menyebalkan kali ini. Aeri tidak berhenti memarahinya karena tidak bisa mengerjakan soal yang diberikan gadis itu. Astaga, apa semua gadis memang secerewet dan segalak Aeri?
Maksudnya adalah, Jungkook bukannya bodoh. Dia tahu jika dia kelewat jenius. Tapi, hei, kembali lagi pada permintaan ibunya. Bagaimana dia bisa memperlihatkan kejeniusannya di saat ketika ia meminta ijin untuk mengikuti bimbingan Aeri, ibunya selalu menatapnya dengan tajam seolah ingin merobek kepala Jungkook dan mengeluarkan otaknya.
Oke, cukup. Itu terlalu mengerikan.
Tapi itulah yang dirasakan oleh Jeon muda. Jungkook tahu jika ibunya terkesan seperti bukan ibu kandungnya. Ia dikekang sejak kecil, tidak boleh belajar, tidak boleh terlalu mencolok di pergulan, tidak boleh melakukan ini dan itu. Benar-benar hidup yang menjengkelkan. Jungkook pikir ibunya tidak sayang padanya. Tidak jarang Jungkook berpikir untuk kabur saja dari ibunya kemudian hidup seperti yang ia inginkan.
Tetapi, itu tidak semudah kedengarannya. Ia terlalu mencintai ibunya. Mengingat bagaimana tangan renta itu yang selalu memeluknya dikala ia ketakutan, gelisah, dan sedih. Bagaimana ibunya yang sering menyembunyikan rasa lelah hanya supaya dirinya tidak khawatir. Itu membuat Jungkook merasa sangat jahat karena berpikir untuk meninggalkan sang ibu. Dia hanya punya ibunya, begitupun sang ibu yang hanya memiliki dirinya. Tidak bisa. Ia tidak bisa menjadi anak durhaka seperti itu.
Maka itulah yang membuat Jeon Jungkook merasakan beban berat seperti memanggul dua sapi di pundaknya.
Sebagai remaja, tentu saja ia ingin memiliki banyak teman. Tentu saja, memangnga siapa yang tidak mau punya teman? Namun, ia bisa apa? Bahkan semua orang menjauhinya karena dia adalah berandal sekolah. Biang masalah. Di dalam pikiran teman satu sekolahnya seolah terdoktrin bahwa, menghindari Jeon Jungkook artinya menghindari masalah. Jeon Jungkook adalah biang keonaran. Jeon Jungkook adalah masalah. Wow!
Rasanya Jungkook sudi saja memecah kepala semua teman sekolahnya jika benar mereka memiliki pemikiran semacam itu. Menyebalkan sekali.
Tapi entahlah, ia lelah berpikir. Ia lelah membuat berbagai prasangka tentang isi kepala semua temannya. Terlalu banyak, terlalu rumit, dan terlalu tidak penting.
Akhirnya, pemuda itu pun memilih memasuki sebuah minimarket. Rasanya ia ingin memakan es krim untuk mendinginkan kepalanya. Dua es krim sepertinya terdengar bagus.
"Kau datang lagi? Kali ini apa?" Sapaan dari gadis penjaga kasih membuat Jungkook terkekeh.
"Aigoo, Noona. Galak sekali, sih? Nanti tidak ada pria yang mau menikahimu, loh," goda Jungkook.
Gadis itu memutar matanya malas. "Jangan mencoba bermain-main denganku, Bocah. Kau mau apa lagi? Kemarin aku sudah cukup ketakutan karena membiarkanmu membeli soju. Gila. Kau ingin aku dipecat, huh?"
"Eyy, tentu saja tidak. Aku kemari untuk beli es krim, kok. Tidak yang aneh-aneh. Kemarin itu terakhir, janji!" Jungkook pun berjalan menuju lemari tempat es krim dan mengambil dua es krim cone. Pemuda itu pun menyerahkannya pada si penjaga kasir.
"Cih, katakan alasan yang logis kenapa aku harus mempercayai janji seorang berandal macam dirimu," ujar si gadis sambil men-scan es krim Jungkook. "Mana ada pria yang bisa dipegang janjinya. Semua hanya mulut manis. Dasar pecundang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Me After You
FanfictionSaat aku dan Yoongi Hyung membeli mainan baru, aku bertanya pada Ibu, "Siapa dulu yang harus mencoba memainkan mainan itu?" Kemudian Ibu akan menjawab, "Dahulukan kakakmu, Jungkook." Kemudian aku mengangguk dan menyerahkan mainan itu kepada Yoongi H...