Ini untuk pembukaan dulu ya. Sekuel dari Dear Pak Dosen. Untuk lebih memahami karakter tokohnya, bisa baca Adira dulu.
Silakan yang mau bantu bikin cover. Aku masih terbuka untuk ganti cover.
Di awal cerita ini aku pakai POV dari Sakha dan Alea. Ke depannya bakal pakai POV author terus.
Sakha's POV
Aku memandang sederet curiculum vitae calon pasangan ta'aruf yang disodorkan mama. Akhir-akhir ini mama dan ayah seakan memberi ultimatum berulang agar cepat-cepat mencari calon istri. Usiaku yang sudah 27 tahun ini dinilai sudah sangat matang oleh mama dan ayah untuk berumah tangga. Dulu ayah menikah dengan almarhumah ibuku di usianya yang masih 23. Ibuku meninggal saat aku berumur lima tahun. Tiga tahun menduda, ayah menemukan jodoh, mama Nara yang begitu menyayangiku seperti anak sendiri. Kata mama, dulu ia menikah dengan ayah saat umurnya masih sembilan belas.
Beda orang, beda cerita. Mereka memiliki kisah menikah muda yang manis, sedang aku, rasanya aku masih harus berpikir ulang untuk melepas masa lajang. Apalagi calon-calon yang diajukan mama dan ayah untuk berta'aruf tidak ada satupun yang memenuhi kriteria.
Kubaca kembali satu per satu curiculum vitae yang berceceran. Pertama bernama Ayuni Navita. Pendidikan terakhir S1 Manajemen. Hobinya memasak, cocok, nih. Aku suka cewek yang pintar masak. Menyukai laki-laki yang shalih dan dewasa. Saat aku lihat fotonya, rasanya nggak sreg. Kerudung yang ia kenakan tidak menutup dada. Aku suka melihat muslimah yang mengenakan jilbab syari'i.
Perempuan kedua bernama Arista Dinara. Pendidikan terakhir S2 psikologi. Background pendidikan lebih baik dari perempuan pertama. Tertarik dengan dunia fotografi. Hobi traveling. Sayang sekali, usianya 28 tahun. Aku menyukai perempuan yang lebih muda.
Perempuan ketiga bernama Novita Dewi. Pendidikan terakhir lulusan SMA. Melihat pendidikan terakhirnya kok aku nggak sreg. Minimal dia sarjana lah. Dari fotonya cantik, sih dan berjilbab syari’i.
Lanjut ke perempuan ke-empat. Namanya Vita Rahajeng. Pendidikan terakhir S1 sastra Inggris. Hobinya membaca. Menyukai laki-laki yang humoris. Makanan favoritnya sate kambing. Wah aku kurang suka sate kambing. Saat melihat fotonya, wajahnya terlalu cantik. Aku orang yang pencemburu. Aku takut cowok-cowok akan banyak yang melirik jika wajah istriku terlalu cantik. Aku suka tipikal wajah yang enak dipandang, manis, dan nggak terlalu cantik.
Huff... Tidak ada yang cocok. Mencari calon istri itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami, seperti mencari kutu di rambut kribo, seperti mencari mutiara dalam benaman pasir pantai yang luas.
Aku ingin perempuan shalihah yang bisa membawa diri, berpakaian syari'i, kritis, smart, sederhana tapi elegan, usia lebih muda dariku, single belum pernah menikah dan kalau bisa, pintar memasak. Aku pernah menyukai mahasiswi yang aku ajar, namanya Adira. Dia anak dari Om Bayu dan Tante Firda, sahabat baik ayah dan mama. Dia memiliki kekurangan fisik. Sejak lahir ia mengidap sindrom meromelia, kedua telapak tangannya tidak berjari. Namun kekurangan inilah yang membuatnya istimewa di mataku. Ia tetap bersinar dengan caranya dan tak mengeluh dengan kondisinya. Sayangnya, dia mencintai laki-laki lain, teman sekelasnya. Mereka baru saja menikah.
Kuusap wajahku. Kulirik pigura yang bertengger di atas meja. Pigura cantik ini diberikan Alea saat aku berulang tahun yang ke tujuh belas. Mendadak aku teringat akan sosoknya yang manja, centil, dan rada-rada slebor. Sedari kecil kami jarang sekali akur. Akurnya hanya saat moment tertentu saja.
Di mataku dia gadis yang membingungkan. Sebenarnya dia pintar berbisnis. Ia meneruskan usaha butik mamanya dan cukup sukses. Namun entah kenapa disuruh meneruskan S2, dia belum berminat, katanya males mikir. Belum lagi hobinya yang hang out bareng teman-temannya. Semua tercermin dari postingan instagramnya yang menunjukkan dia wanita yang bergaya hidup ala sosialita. Kalau tidak selfie memamerkan wajahnya yang nggak seberapa cantik...ups... (Sebenarnya dia cantik, tapi kelakuannya mengurangi kecantikannya), dia pasti memamerkan aktivitas unfaedah bareng teman-teman gengnya. Entah wisata kuliner, nongkrong di kafe atau di pantai dan kolam renang di mana ia mengenakan pakaian yang minim. Paha diumbar di mana-mana. Sudah aku tegur berulang untuk menghapus foto-foto seksinya. Dia malah berujar, Bilang aja kamu suka...Pasti kamu bayangin yang iya-iya waktu lihat fotoku. Astaghfirullah....
Ada satu rahasia yang akan aku simpan selamanya. Alea.... itu... Pasangan dalam mimpiku saat pertama kali aku mimpi basah. Astaghfirullah. Aku mimpi basah pertama kali usia empat belas, saat itu Alea masih sebelas. Ya Allah kok bisa?
Seandainya dia mau berjilbab dan menurut, nggak selalu nyolot, nggak keras kepala, mungkin aku akan mempertimbangkan dia untuk menjadi calon istriku. Namun rasanya tidak mungkin. Dia tak memenuhi kriteriaku.
******
Alea's POV
Hapus nggak fotonya?
Aku terbelalak membaca pesan whatsapp dari Sakha. Ia mengirim foto yang aku posting di instagram. Sepuluh menit yang lalu aku memposting fotoku dan teman-teman saat liburan di pantai. Dia pasti protes karena aku upload fotoku yang mengenakan t-shirt dan celana pendek.
Suka-suka aku mau posting apa.
Tak lama kemudian dia membalas.
Sakha banyak komentar cowok yang merendahkanmu.
Alea merendahkan gimana? Mereka bilang aku cantik dan seksi.
Sakha mereka komen kayak gitu karena mata keranjang. Kesenengan lihat foto kamu pakai baju seksi. Paha kok diumbar.
Alea yang penting nggak ngrugiin orang.
Sakha ngrugiin lah. Bikin para cowok dosa karena nggak mampu menahan pandangan.
Alea termasuk kamu?
Sakha sorry ya, aku bukan tipikal seperti itu.
Alea tapi kamu download fotoku. Buktinya kamu kirim balik fotoku ke sini. Lebih parah mana cowok yang hanya lihatin fotoku atau download fotoku?
Sakha nggak usah ngeles. Fotomu udah aku hapus. Aku download karena untuk mengirim balik ke kamu.
Alea mana aku tahu fotoku udah kamu hapus. Jangan-jangan lagi dilihatin sama kamu.
Sakha nggak doyan.
Alea halah, cowok mah sama saja. Jangan-jangan sekarang kamu lagi pakai fotoku buat berfantasi.
Sakha edan... Ngeres... Cewek kok ngeres gitu. Amit-amit.
Alea amit-amit tapi kamu nggak bosen-bosen kepoin instagramku.
Sakha au ah, capek ngomong sama kamu.
Alea kalau capek jangan WA.
Dia tak membalas lagi. Dasar cowok aneh. Dia dosen muda, sudah S3, katanya sih alim dan bijak, dewasa, cerdas, dan jadi dosen idola. Ah mungkin orang terlalu berlebihan menilainya. Tapi dia kadang datang tanpa diundang, lalu pergi sesukanya. Kadang hanya menjadikanku sebagai tempat curhat dan tong kosong untuk menampung sampah darinya alias keluh kesahnya. Namun bisa dihitung sikap baiknya. Sekalinya baik, nggak tanggung-tanggung, beliin aku makanan, novel, boneka, atau mengingatkanku untuk makan siang. Gimana nggak baper? Tidak tidak... Aku nggak boleh baper. Aku tak boleh jatuh cinta padanya. Tidak boleh... Bisa gedhe kepala dia kalau aku jatuh padanya.
Sekalipun cowok cuma tinggal dia seorang di dunia, aku tak akan membiarkan diriku jatuh padanya. Dia pernah menyakitiku. Membuatku baper bukan kepalang tapi pada akhirnya meninggalkan dan malah mengajak Adira ta'aruf. Dia selalu bilang aku tak memenuhi kriterianya. Huff... Dia pikir hanya dia cowok paling sempurna? Maaf bang, aku tak akan lagi mengharapkanmu. Sebaliknya, kamu yang akan bertekuk lutut di hadapanku.
******
Lanjut nggak? Tapi slow ya.... Mau revisi dulu dan lebih ngutamain Adira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Pak Dosen 2 (Completed)
RomanceRank #1-lifestory 29/05/2020 Rank #1-kehidupan 23/02/2020 Rank #2-lifestory 23/06/2019 Rank #2-kuliah 11/08/2019 Untuk lebih memahami cerita ini silakan membaca Dear Pak Dosen dan Adira terlebih dahulu. Sesekali Sakha melirik gadis yang dulu ia julu...