24. Part 24

34.2K 2.7K 131
                                    

Selama tiga hari di Bandung, Sakha diundang untuk menghadiri berbagai seminar di beberapa universitas. Terakhir ia menghadiri seminar di universitas tempat Kezia mengajar. Pertemuan untuk urusan pekerjaan itu berlanjut ke pertemuan yang tak disengaja kala Sakha membeli brownies untuk oleh-oleh karena esok ia harus kembali ke Purwokerto. Di saat yang sama Kezia juga tengah mengunjungi toko brownies tersebut.

"Sakha, kamu borong brownies?" Kezia tersenyum ramah.

"Eh, Kezia, iya nih... Buat Alea, ortu, sama mertua. Teman-teman dosen juga pastinya dibawakan juga." Sakha juga mengulas senyum.

"Pilihan yang tepat, brownies ini emang enak. Oya nggak ingin milih oleh-oleh yang lain? Di sini jual oleh-oleh lain juga. Jadi nggak perlu beli ke tempat lain." Kezia melirik aneka keripik oncom, keripik tempe, dodol, bolen pisang, permen susu dari Pangalengan, wajit Cililin, tahu susu Lembang, peuyeum, keripik Maicih, kerupuk seblak, dan masih banyak lagi.

"Iya, aku juga rencananya gitu. Bantu pilhin, ya." Sakha menoleh ke arah Kezia masih dengan senyum khasnya. Senyum yang begitu disukai Kezia semasa SMA dulu.

Kezia mengangguk. Mendadak ada satu desiran yang tiba-tiba merambat. Ia tahu, perasaannya pada Sakha hanya lah masa lalu. Tentu ia mengerti akan posisi masing-masing. Sakha yang sudah berkeluarga dan dirinya juga sudah bersuami. Tak sepantasnya dia terjebak pada cerita lalu kendati terkadang ia begitu tertekan dengan pernikahan yang ia jalani bersama Erlan.

Setelah memilih beberapa oleh-oleh, Kezia dan Sakha keluar dari toko. Pedagang mie goreng yang mangkal di depan toko menarik perhatian Sakha.

"Kok jadi pingin makan mie, ya. Kamu mau nggak nemeni aku makan mie?" Sakha melirik Kezia yang tertegun mendengar tawaran Sakha. Rasanya tak enak untuk menolak. Ia juga masih ingin berbincang banyak dengan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu.

"Iya boleh," balas Kezia seraya melengkungkan segaris senyum.

Keduanya duduk di bangku yang telah disediakan penjual mie goreng. Suasana malam yang indah membuat Sakha tak ingin cepat-cepat mengakhiri malam terakhirnya di kota ini.

"Maaf, ya, aku malah ngajak makan di pinggir jalan. Jujur, aku nggak pernah masalah makan di mana aja. Makanan yang dijual pedagang keliling atau yang mangkal di depan toko pun rasanya nggak kalah enak dengan makanan yang dijual di restoran." Sakha membuka percakapan untuk memecah keheningan yang tiba-tiba menguasai.

"Nggak apa-apa Sakha, aku juga sebenarnya nggak pernah masalah makan di mana aja. Mungkin kebawa waktu ngekost dulu ya. Aku dan teman-teman sering beli makanan yang dijual di pinggir jalan. Rasanya udah lama sekali aku nggak makan di pinggir jalan gini. Makasih ya, Kha, kamu udah mengobati kerinduanku."

Sakha menatap tajam Kezia, "Memangnya kamu nggak pernah sesekali makan di pinggir jalan bareng Erlan?"

Kezia segera menggeleng.

"Erlan nggak suka makan di tempat seperti ini. Ada banyak perbedaan di antara kami. Banyak hal juga yang tak bisa disatukan." Kezia memandang lepas ke mega kelam tanpa bintang. Jika menilik kembali pada masa-masa pernikahannya, dari tahun awal hingga detik ini, sudah terlalu banyak percekcokan dan perbedaan pendapat yang kerap menghiasi kehidupan rumah tangga mereka. Kalau pun dia bertahan, itu karena masih ada cinta untuk Erlan dan pria itu selalu saja minta maaf setelah menyakiti perasaannya.

Erlan begitu berbeda dengan Sakha. Erlan jarang sekali beramah tamah dengan orang lain. Ia begitu dingin dan ini membuat teman-teman bahkan kerabat Kezia jarang bertandang ke rumahnya atau bahkan sekadar mengajak jalan karena paham benar akan sifat Erlan yang posesif dan dominan. Bersama Sakha, Kezia seolah menemukan kembali dirinya yang lama.

Dear, Pak Dosen 2 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang