Dear Diary,
Aku dan Ezar kembali ke rumah. Rumah yang dulu penuh cinta, tapi kini serasa tak bermakna.
Aku jalankan tugasku. Aku mengurus anak, rumah, dan menyiapkan segala keperluan suamiku.
Aku tak peduli sikapnya berubah lebih dingin dan hanya berkomunikasi seperlunya.
Pihak kampus memindahkan Kezia ke universitas lain karena gosip kedekatan mereka semakin santer terdengar.
Sepertinya dia menyalahkanku dan menuduhku sebagai biang keladi atas kegagalannya terpilih menjadi dosen yang mewakili universitas untuk studi banding ke universitas di Sidney.
Ya, sejak aku datang ke kantin dan menegur mereka, karier Sakha terhambat.Tak sekadar menyedihkan tapi juga menyakitkan, ketika seseorang yang dulu begitu manis kini serasa asing.
Selalu kuyakinkan hatiku bahwa Sakha yang sekarang bukan lagi Sakha yang aku kenal.
Dia seperti orang lain. Cinta yang dulu membara kini lenyap tanpa sisa.Terkadang aku seperti wanita yang bodoh. Aku memilih diam kendati kutemukan bill pembelian produk skincare dan tas wanita tanpa pernah barang itu sampai padaku.
Aku juga diam kala kupergoki Kezia meneleponnya malam-malam.
Bukan aku membiarkan. Aku pernah bertanya apa hubungan mereka sebenarnya. Sakha selalu berdalih mereka hanya berteman.Kupilih untuk menyimpan luka ini sendiri. Setiap orang tuaku bertanya keadaanku, aku selalu menjawab bahwa aku baik-baik saja.
Mungkin semesta meneriaku bodoh atau justru mengatakan aku perempuan paling sabar, kuat, atau apapun itu.
Tidak, tidak, tidak...
Aku bukan wanita kuat. Menjadi kuat hanyalah pilihan karena aku takkan bisa meminjam kaki orang lain untuk berdiri.
Satu hal yang membuatku bertahan adalah aku teringat akan perkataan ustadzah yang selalu memberi materi kajian setiap dua kali seminggu.
Ketika suami tengah berada di persimpangan atau jauh dari Allah, maka sebagai istri kita harus berusaha untuk merangkulnya dan menggandeng kembali ke jalanNya.Aku tak tahu apakah usahaku berharga di matanya atau dia tak akan pernah bisa menghargainya. Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik.
Sepertiga malam aku selalu bangun, kuambil air wudhu, dan bermunajat padaNya. Entah berapa banyak air mata yang mengalir tuk mendoakannya agar suamiku yang taat agama dan mencintai keluarga kembali seperti dulu.
Aku mengajaknya sholat malam dan mengaji bersama. Terkadang ia menolak dengan alasan mengantuk. Terkadang ia menurut.
Mungkin saat ini tingkat keimanannya ada di titik rawan. Ia kembali mudah tergoda akan pesona wanita lain yang ia nilai jauh lebih sempurna dari istri yang sudah halal.
Aku kembali teringat akan perkataan ustadzah. Laki-laki yang selalu memandang perempuan lain lebih segalanya dari sang istri, bisa jadi permasalahannya bukan di istrinya, tapi di suami yang tak bisa menjaga pandangan.Tidak ada sesuatu yang abadi. Waktu berganti, bahkan siang dan malam selalu bergantian menyapa bumi. Begitu juga manusia. Sesungguhnya ia makhluk yang paling tidak konsisten dan sering kali berubah. Orang bisa berubah kapanpun. Hati selalu menjadi sesuatu yang memiliki dua sisi, rapuh dan tangguh. Ia pun bisa berbolak-balik tanpa kita tahu akan bermuara di dermaga yang mana.
Aku hanya mencoba ikhlas meski aku masih jauh dari kata itu. Aku masih percaya akan ada satu titik di mana ia lelah berkubang dalam kenikmatan semu. Meski aku juga tak berharap. Namun aku yakin Allah telah menuliskan skenario terbaik.
Belakangan ini, dia sedikit menghangat. Dia kembali menyentuhku setelah sekian lama kami tidur saling memunggungi. Dan aku tak akan mundur, kecuali dia yang memintaku mundur.
Aku tak tahu entah sampai kapan aku bertahan. Namun saat ini hatiku jauh lebih tenang setelah kupasrahkan segalanya pada Allah. Biarkan Allah yang membalas untuk lisan dan tindakan yang telah menyakiti. Biarkan Allah yang mengganti untuk setiap bulir bening yang menitik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Pak Dosen 2 (Completed)
RomanceRank #1-lifestory 29/05/2020 Rank #1-kehidupan 23/02/2020 Rank #2-lifestory 23/06/2019 Rank #2-kuliah 11/08/2019 Untuk lebih memahami cerita ini silakan membaca Dear Pak Dosen dan Adira terlebih dahulu. Sesekali Sakha melirik gadis yang dulu ia julu...