Nurani melipat mukenanya. Matanya terlihat sembab karena terlalu banyak menangis. Ningsih masuk ke kamar anaknya dengan menggenggam ponsel.
"Ran, bapaknya Arfan telepon katanya kamu disuruh ke rumah sakit. Arfan udah sadar dan ingin ketemu kamu."
Nurani mengerjap. Ia menganga sekian detik. Air matanya kembali menetes.
"Alhamdulillah ya Allah, Mas Arfan udah sadar." Nurani segera mengambil baju ganti. Rasanya tak sabar untuk tiba di rumah sakit. Bulir bening itu masih menetes karena ia begitu bahagia, terharu, dan bersyukur Allah telah mengabulkan doanya.
Setiba di rumah sakit, Nurani segera berjalan menuju ruang tempat Arfan dirawat. Hatinya berdebar tak menentu, membayangkan momen pertemuannya dengan Arfan pasca sang suami tak sadarkan diri berhari-hari. Ia sangat merindukan Arfan.
Air mata Nurani menitik pelan ketika melihat Arfan terbaring lemah dengan perban mengitari kepala dan juga kakinya. Air matanya menderas saat Arfan menatapnya sayu dengan senyum lembut.
Nurani menjabat tangan Arfan dan menciumnya. Selanjutnya ia memeluk sang suami dengan tangis yang mencekat. Arfan membalas pelukan itu. Ia pun meneteskan air mata. Betapa ia merindukan sang istri dan ingin segera pulang ke rumah baru mereka.
Maryam tak suka melihat kedatangan Nurani, tapi ia diam saja. Dua adik Arfan, Anira dan Anila juga tak suka.
"Sebenarnya Arfan sudah sadar dari dua hari yang lalu. Saya memang sengaja memberi kabar setelah kondisi Arfan cukup stabil. Dia juga selalu menyebut namamu, ingin sekali bertemu denganmu." Wiryawan, ayah Arfan menatap sang putra dan menantu dengan rasa haru. Ia tahu anak sulung dan menantunya masih saling mencintai.
Nurani mengusap air matanya. Ia menoleh ke arah Wiryawan.
"Terima kasih, Pak. Terima kasih Bapak sudah menghubungi saya. Saya bahagia banget karena Mas Arfan sudah sadar." Nurani kembali menatap Arfan.
Arfan menggenggam tangan Nurani erat. Keduanya saling menatap dengan gempuran rasa rindu, cinta, dan haru yang terus bergemuruh.
"Terima kasih kamu mau datang. Aku ingin segera pulang ke rumah baru kita," ucap pelan Arfan. Tubuhnya terlihat begitu lemah.
"Kamu akan pulang ke rumah Bapak Ibu, Arfan. Dokter bilang kamu butuh waktu cukup lama untuk memulihkan kondisimu. Tulang kakimu patah, butuh berbulan-bulan untuk benar-benar sembuh. Nanti harus rutin periksa juga. Biar Ibu yang merawat kamu." Maryam tak rela jika Arfan tinggal bersama Nurani dan meninggalkan rumah.
"Arfan ingin tinggal bersama Rani, Bu." Arfan melirik Nurani yang duduk di hadapannya.
"Kamu nggak keberatan kan kalau aku tinggal bareng kamu? Mungkin aku akan merepotkanmu karena kondisiku belum pulih."
Nurani tersenyum. Ia mengeratkan genggamannya.
"Tentu, aku nggak keberatan, Mas. Aku akan merawat Mas Arfan sampai benar-benar sembuh."
Keduanya melempar senyum. Maryam tak habis pikir, sang putra begitu tergila-gila pada Nurani yang saat hamil terlihat semakin tak menarik. Sebenarnya ia tak sudi melihat Nurani datang. Namun ia menahan diri. Arfan belum sembuh benar. Ia biarkan wanita itu datang semata demi proses pemulihan Arfan.
******
Arfan masih butuh perawatan di rumah sakit sebelum diizinkan pulang. Dengan setia Nurani menemaninya. Bahkan ia sempat menutup warung soto beberapa hari. Ningsih berinisiatif membuka kembali. Ia dan satu kerabat membantu Nurani mengurus warung sotonya sementara sang putri berada di rumah sakit untuk menemani Arfan.
Alea dan Sakha menyempatkan waktu untuk menjenguk Arfan setelah mendengar kabar Arfan yang telah sadar. Tak ada kebencian atau perasaan canggung mengingat rencana perjodohan antara Arfan dan Alea yang dulu gagal. Mereka layaknya teman baik. Sebelum kecelakaan itu, Alea dan Sakha pernah beberapa kali makan siang di warung soto Nurani. Terkadang mereka bertemu Arfan dan berbincang di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Pak Dosen 2 (Completed)
RomantikRank #1-lifestory 29/05/2020 Rank #1-kehidupan 23/02/2020 Rank #2-lifestory 23/06/2019 Rank #2-kuliah 11/08/2019 Untuk lebih memahami cerita ini silakan membaca Dear Pak Dosen dan Adira terlebih dahulu. Sesekali Sakha melirik gadis yang dulu ia julu...