Pulanglah?

821 107 70
                                    

No blood will spill if we both get out
Now, still it's hard to put the fire out
What seemed like a good idea
Has turned into a battlefield

(Battlefield, Lea Michele)

--------------------------------------

"Seungcheol?" aku mendengar Jihoon, yang tepat berada di belakangku, mengucapkan pelan nama itu. Menginterupsi keheningan canggung yang terjadi selama beberapa detik.

"Halo?" Seungcheol menyahut dengan senyum ragu yang terlihat jelas tidak sampai ke matanya.

Mendengar suaranya lagi rasanya...

Detak jantungku...

Ugh!

Aku berdehem, mengulur waktu untuk meredakan segala emosi yang berkecamuk di dalam dadaku. "Apa ada yang bisa kubantu?"

Seungcheol melihatku dengan ekspresi sedihnya, sebelum memandang dengan canggung orang-orang di belakangku. "Aku..." kali ini dialah yang berdehem, dan aku bisa mendengar kecemasan dari dehemannya tersebut. "Aku ingin berbicara denganmu."

Aku tahu bahwa Seungcheol saat ini sedang sangat teramat grogi. Dan hal itu dapat terlihat dengan jelas dari ekspresi dan gerak tubuhnya.

Tetapi tentu saja aku sedang berusaha untuk tidak peduli.

Aku tidak peduli padanya.

"Apa kau dan aku masih punya urusan?" tanyaku dengan nada yang kubuat monoton, menunjukkan ketidaktertarikanku tentang apapun yang ingin ia bicarakan. "Bukankah segala macam hal yang mengaitkanku padamu sudah terselesaikan beberapa hari yang lalu? Tidak ada lagi urusan yang harus aku bahas denganmu."

"Jeonghan..."

"Dengan kata lain," sambarku cepat, memotong apapun yang ingin diucapkan Seungcheol. "Aku tidak ingin berbicara denganmu."

"Tolong berikan kesempatan padaku untuk membicarakan apa yang terjadi," sahut Seungcheol dengan suara rendahnya yang merayu. "Maafkan aku mengenai ke—"

"Aku sudah dengan sangat jelas menangkap maksudmu dari obrolan kita terakhir kali," kali ini aku tanpa sadar membuat suaraku terdengar lebih dingin, bahkan untuk telingaku sendiri. "Aku sudah cukup paham. Tidak perlu repot-repot membicarakannya lagi."

"Tidak aku..." terlihat begitu emosionalnya Seungcheol berkata dengan nada memohon. Ia melangkahkan kaki ragu, berusaha untuk lebih mendekatiku. "Jeonghan tolong be—"

Tepat ketika jarak di antara kami hanya tersisa sekitar enam puluh sentimeter, langkah Seungcheol segera terhenti. Bukan hanya karena isyarat tanganku, tetapi juga karena salakan tiba-tiba dari Cheol. Cheol yang seperti memahami bahwa aku sedang merasa tidak nyaman kini berdiri di antara aku dan Seungcheol, menatap Seungcheol dan menyalak padanya.

Aku hanya membiarkan saja anjingku melakukan hal itu, karena aku sangat yakin bahwa ia tidak akan melukai Seungcheol. Cheol bukanlah anjing yang agresif.

Tidak menghiraukan gonggongan Cheol di depannya, Seungcheol yang menunjukkan ekspresi memelasnya kemudian melanjutkan dengan suara yang agak keras untuk menandingi suara berisik dari Cheol, "Kita..." ia tiba-tiba berhenti untuk lagi-lagi berdehem sejenak. "Aku butuh bicara denganmu. Berikan aku waktu sebentar dan setelah kau mendengarkanku, aku berjanji akan menghargai setiap apapun keputusanmu. Jad—"

"CHEOL, DIAM!" Aku meninggikan suaraku supaya Cheol mendengar dengan jelas perintahku.

Aku memang memberikan perintah tegas itu pada anjingku yang tengah menggonggong, tetapi tatapan mata tajamku tidak pernah meninggalkan wajah Seungcheol yang tiba-tiba tercekat memandangku, seolah-olah perintah itu diberikan untuknya. Hah! Kalau saja kami berada di waktu yang berbeda dan dengan situasi yang lain, aku pasti akan menertawakan ekspresinya saat ini.

Bunga Iris dan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang