Siji | Satu

10.3K 480 9
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

SUASANA sore ini masih sama seperti biasanya. Beberapa kali muda mudi, baik perempuan maupun laki-laki silih berganti berlalu lalang. Dengan mendekap mukena, kitab hingga Al-Qur'an.

Sayup-sayup, di sebuah ruangan bercat putih dan berlantai keramik putih. Terlihat wanita muda nan cantik sedang mengajar para santriwati.

"Diwaca endhek, Nduk.."(Dibaca pendek, Nak..)
Beberapa kali gadis muda itu mencoba mengingatkan. Sesekali ia juga mendecak.

Sesaat kemudian, "Shadaqallahul-'adzim.." selesai sudah.

"Ning? Nyuwun sewu. Dipadosi kalih Rama Kyai." (Ning? Mohon maaf. Dipanggil oleh Rama Kyai). Seseorang santriwati tiba-tiba datang dan berjalan menggunakan lututnya ke arah Ningrum.

Gadis muda pengajar di pesantren yang ternyata anak dari Ustadz Bahri. Ningrum, Ning biasa ia merasa terpanggil.

Ia pun mengangguk dan mengucap salam.

Ningrum berjalan santai menuju rumahnya. Ia menerka-nerka, apakah ini penting? Ataukah mendesak hingga Bapak yang sering ia panggil Abi, memanggilnya saat mengajar.

"Sebentar ya, Le. Mungkin dia masih-"

"Assalamu'alaikum." Ningrum mengucap salam dan mereka semua yang duduk di ruang tamu Ningrum menoleh ke arah pintu serta menjawab salam. Ningrum berjalan menunduk serta mendudukkan dirinya di kursi kosong sebelah kiri sang Umi.

"Lhoo, Nduk. Piye to? Salim disek karo Bapak Ibu iku." (Lhoo, Nduk. Gimana to? Salim dulu sama Bapak Ibu itu). Ningrum mengikuti arah pandang Umi yang baru saja membisikinya. Dengan patuh, ia pun meraih tangan Bapak Ibu yang duduk di depannya.

Mengenakan jas dan sang Ibu mengenakan sarimbit bruklat. Membuat Ningrum mengerutkan dahinya.

Kemudian, ia melupakan sosok yang sedari tadi sudah duduk di sisi kanan Abinya. Ia terlihat seumuran dengan kakak laki-lakinya yang kini sudah berumah tangga.

Ningrum pun sesekali mencuri pandang ke arahnya. Tidak berkedip, karena konon..jika ia berkedip sama saja ia telah melakukan dosa karena menatap seorang lelaki yang bukan muhrimnya.

"Jadi, bagaimana Rum? Diterima atau tidak?" Ibu yang duduk di depannya meraih tangan Ningrum.

Ningrum yang gugup dan tak tahu arah perbincangan inipun memilih menoleh dan menatap sang Umi dengan tatapan bertanya.

Sang Umi pun memberi isyarat dengan tersenyum dan menganggukkan kepala.

"I-inggih, Bu." (I-iyaa, Bu). Setelah berucap dengan nada gugupnya, Ibu di depannya itu langsung menarik tangan Ningrum dan merangkulnya.

"Makasih ya, Rum. Makasih sudah menerima pinangan Mas Aryo."

'Pinangan?!' Batin Ningrum berteriak.

Sesaat setelah Ibu itu melepas rangkulannya. Ningrum melirik sekilas pada lelaki yang dibilangnya seumuran sang kakak.

Lelaki itu tersenyum.

Tersenyum?

'Mas Aryo?!!' Batin Ningrum. Sedikit mengeram dalam hatinya.

Apa-apaan ini? Pinangan. Ia bahkan, belum terpikirkan untuk mengarungi kehidupan rumah tangga yang sakral itu.

Bagaimana bisa?

•• KANG MAS! ••

"Uwislah, Nduk. Paling Mas Aryo wis jodhomu. Wis dalan uripmu. Wis ojo ditunda-tunda. Umurmu yo uwis nginjak patlikur taun." (Sudahlah, Nak. Mungkin Mas Aryo sudah berjodoh denganmu. Sudah jalan hidupmu. Sudah jangan ditunda-tunda. Umurmu juga sudah duapuluhempat tahun). Umi mengusap punggung Ningrum yang bergetar. Ningrum menangis setelah kepergian keluarga Mas Aryo.

"Tapi, Umi. Ning, dereng siap-" (Ning, belum siap-).

Umi memotong ucapan Ningrum, "Ning, siap opo ndak e, iku kabeh tergantung atimu. Mantapno atimu..Nggih?" (Ning, siap atau tidak, itu semua tergantung hatimu. Mantapkan dulu hatimu..Ya?). Umi masih kukuh membuat Ningrum menerima pernikahan yang akan dilaksanakan Minggu depan.

Minggu depan? Ya, Minggu depan. Sangat cepat dan singkat. Ningrum bahkan belum mengenal Mas Aryo dan begitupun sebaliknya.

"Pelaksanaan akad nikahnya hari Senin depan, Ust. Bahrie." Ningrum yang sedari tadi menundukkan kepala, tiba-tiba ia mengangkat kepalanya dan menatap sang Abi. Berharap jika Abi akan menolak atau mengundurnya beberapa bulan lagi. Jujur saja, ia belum siap.

"Iya, Pak Abdul. Lebih cepat lebih baik." Abi Ningrum terlihat tersenyum berseri-seri. Ningrum pun tak tega merusak acara yang akan diselenggarakan minggu depan nanti.

Pasrah..

Ningrum pasrah dan berserah diri.

"Jodoh, Kematian, dan Rezeki. Itu hanya Allah Swt. yang mengatur. Semua sudah ditentukan waktu dan takarannya. Jika ini memang jalan hidupku. Aku ikhlas, Ya Allah. Semoga jalan yang kupilih tidak membuatku terjerumus." Gumam Ningrum, ia mengangkat kepalanya dan menyeka sisa air mata yang mengalir setelah berbicara hati ke hati dengan Ibunya--Umi Salma.

Ia menatap kosong jendela di depannya. Langit mulai gelap. Membawanya beradu pada malam.

"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar."

"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar..."

Lantunan adzan magrib membuyarkannya dari rengkuh lamunan. Ningrum bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid.

•••

Selamat menunaikan ibadah puasa teman-temanku. Semoga lancar puasanya🖤

🖤🖤 Serinai Aksara & Kapas Biru 🖤🖤

Kang Mas! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang