Loro | Dua

7.3K 403 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

1 Tahun Yang Lalu

Terminal Bis

Asap kendaraan bercampur dengan terik panasnya matahari siang ini, berhasil membuat siapa saja mengeluh. Ningrum salah satunya. Gadis itu mengenakan gamis dan jilbab berwarna peach.

Ujung jilbabnya sengaja ia gunakan untuk menutup setengah wajahnya. Sambil tetap memeluk IQRA' di dadanya.

Drrrtt... drrrt...

Bunyi ponsel membuat langkahnya berhenti. Ia pun menepikan dirinya dan mencari tempat yang sedikit teduh. Di depan warung yang ada di Terminal itu.

"..Waalaikumsallam." Jawab Ningrum.

"..."

Ningrum membalikkan badannya untuk melihat spanduk yang bertengger di atas warung, "Inggih, Mas. Ning, di depan rumah makan Bu Yum."

"..."

"Inggih."

Setelah menutup telfon ia pun berjalan menuju tempat yang di ucapkan oleh Mas Irsyad--kakak kandung Ningrum. Irsyad atau jika ia berada di Pesantren dipanggil dengan Gus Irsyad, dirinya baru pulang merantau kerja mencari pengalaman di Kota.

Dan hari ini, ia pulang dengan di jemput Ningrum--adiknya.

Dua minggu lagi, Gus Irsyad akan memulai hidup barunya. Umi dan Abi telah melamarkan seorang gadis untuk Gus Irsyad.

Usianya telah matang, yaitu duapuluhtujuh tahun. Tapi, dirinya masih kukuh untuk bekerja dulu dan mencari pengalaman. Jika saja, kemarin-kemarin Umi tidak menceramahinya. Mungkin, saat ini kepulangannya hanya sebuah wacana.

"Le.. kowe kuwi wis gedhe lan umurmu yo uwis mateng, wis nyambut gawe. Terus opo neh sing arep mbok lakoni? Wis wayah e dadi imam, Le. Umi lan Abi soyo tuwa, kepengin rasane nggendong putu. Kowe ra mesakne Umi lan Abi, Le?" (Nak, kamu itu sudah besar dan umurmu juga sudah matang, sudah bekerja pula. Terus apa lagi yang mau kamu lakukan? Sudah waktunya menjadi imam, Nak. Umi dan Abi sudah semakin tua, ingin rasanya menimang cucu).

Begitulah, sedikit yang Ningrum dengar beberapa hari yang lalu. Ketika Umi dan Gus Irsyad berbincang-bincang melalui telfon.

"Assalamu'alaikum, Ning.." Gus Irsyad tersenyum melihat adiknya yang semakin cantik.

"Waalaikumsallam, Mas."

Ningrum meraih tangan Gus Irsyad dan mengecupnya, "Mas panas-panas ngene kok kon njemput, seh.. yowis ayo gek ndang manthuk. Aku selak ngulang ngaji." (Mas panas-panas gini kok suruh jemput, sih.. ya udah ayo buruan pulang. Aku keburu ngajar ngaji). Ningrum mengeluh.

"Lha emang jam segini nyampeknya, Ning. Pantesan bawa-bawa IQRA'." Gus Irsyad mengelus puncak kepala Ningrum.

"Iku sopo, Mas?" Ningrum memicingkan matanya saat melihat sosok laki-laki yang berjalan, menenteng tas besar.

"Aryo, ini Ningrum. Adikku." Ucap Gus Irsyad pada Aryo.

Sedangkan, Aryo menatap Ningrum. Namun, hanya terlihat matanya saja karena gadis itu menutup setengah wajahnya dengan jilbab.

Tak ada interaksi berkenalan layaknya orang-orang pada umumnya. Berjabat tangan, melempar senyum. Bukan muhrim.

"Ayo manthuk, Mas." Gus Irsyad hanya mengangguk. Kemudia ia berucap terimakasih pada Aryo yang telah mengantarnya dan berpamitan.

Ningrum tersenyum kikuk di balik ujung jilbab yang menutupi hidung hingga bibirnya, "Monggo.."

Aryo hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

Saat hendak berbalik untuk beranjak dari tempat itu. Mata Aryo menangkap benda mirip seperti sebuah pulpen. Ia berjongkok dan mengambilnya. Ia salah menduga.

Bukan sebuah pulpen. Namun, pembatas/alat untuk menunjuk huruf-huruf saat membaca tulisan arab. Panjangnya kurang lebih sama dengan pulpen, terbuat dari plastik, berwarna oranye, ujungnya runcing dan di pinggirnya terdapat tulisan بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Apa ini punya adiknya Irsyad?" Gumam Aryo.

Lelaki itu kemudian menatap ke depan, berharap kedua orang yang telah berlalu itu masih dapat terjangkau dengan arah pandangannya.

Nihil.

Aryo tak menemukan keduanya.

Akhirnya, ia pun memilih membawa benda kecil itu.

•• KANG MAS! ••

H-2 Akad Nikah

"Ning.."

"Eh, Mbak Malika. Enten nopo, Mbak?" (Eh, Mbak Malika. Ada apa, Mbak?).

Ningrum tersentak saat menyadari Malika--kakak iparnya tiba-tiba sudah ada di sampingnya.

Dengan Maisha--keponakannya, digendongan sang kakak ipar.

"Ning, Mbak nitip Maisha ya?" Ningrum kemudian mengambil alih Maisha dari gendongan Malika.

"Badhe teng pundi, Mbak? Kencan yoo.. kalih Mas e." (Mau kemana, Mbak? Kencan yaa.. sama Mas).

Ningrum memang kerap menggoda Malika. Terbukti dengan pipi merona yang Malika coba sembunyikan.

"Huss.. ngomong apa, sih? Mbak disuruh Umi, buat ke bantu-bantu di acara nikahannya Ning Nisya." Ningrum hanya membulatkan bibirnya, membentuk huruf O -- tanda mengerti.

"Ya udah. Mbak, berangkat ya. Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsallam."

"...dada. Dada, Nduk." Ningrum mengayun-ayunkan tangan kanan Maisha. Tak disangka, gadis kecil itu terkekeh.

"Nduk-Nduk.. gembul pipimu. Kaya Abimu, uelek rupamu.. emhh gemesss." (Nak-Nak.. gembul pipi kamu. Seperti Abimu, jelekk... emhh gemesss). Ningrum mengecupi pipi kiri dan kanan Maisha. Saking gemasnya.

Maisha. Anak itulah yang telah menyatukan hati Malika dan Irsyad. Dahulu, saat Irsyad telah sah menjadi imam bagi rumah tangga Malika. Lelaki itu enggan bersikap hangat. Hingga suatu ketika, Maisha hadir dan merubah segalanya. Dinginnya sikap Irsyad lenyap. Hingga menumbuhkan benih-benih cinta diantara keduanya.

Konon, nama Maisha berasal dari singkatan Malika-Irsyad. Namun ternyata nama itu juga memiliki arti, yaitu 'Kehidupan'. Abi dan Umi pun menyetujui nama tersebut untuk cucu pertamanya.

•••

Selamat menunaikan ibadah puasa teman-temanku. Semoga lancar puasanya🖤

🖤🖤 Serinai Aksara & Kapas Biru 🖤🖤

Kang Mas! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang